“Jadi tidak ada ilegal di sini, karena semua tertera dalam administrasi, baik dari BPN maupun dalam kesepakatan bersama Pemda,” bebernya.
Kata Jemmy, barulah pada 2015 lalu ada aturan bahwa untuk permohonan HGU sudah bisa dilakukan secara parsial. Artinya, 3.000 ha itu sudah bisa diajukan permohonan. “Saat ini kami telah melakukan itu, dan dalam proses penerbitan,” katanya.
Untuk 2.230 hektare itu seharusnya juga Pemda melakukan permohonan HGU melalui pihaknya dan kemudian diteruskan ke pemerintah pusat. Bisa juga dengan melakukan proses pindah tangan, dari pemerintah pusat ke daerah.
“Sampai saat ini kita juga masih terus membayar pajak untuk 5.230 hektare itu, baik yang dikelola pemerintah daerah maupun lainnya yang seluas 2.230 hektare itu,” bebernya.
Terkait masalah adanya warga yang merasa digusur, Jemmy menyampaikan hal itu sebetulnya diluar dari kewenangan pihaknya. Sebab sudah ada kesepakatan dengan Pemda bahwa yang 3.000 hektare itu sudah bebas dari pihak-pihak penggarap. Untuk kepentingan masyarakat umum atau pihak yang menggarap sebaiknya diwadahi pada 2.230 hektare itu.
Bahkan, kata dia, pihaknya justru sebelumnya telah mewadahi masyarakat dengan menerapkan pola perkebunan timpang sari. “Bahkan ada masyarakat yang diberi kewenangan menanam jagung di sela-sela tanaman kelapa sawit kita. Tetapi sekarang tidak diperbolehkan lagi,” katanya. (sal/ham)