“Sehingga tanah bisa istirahat jika setelah panen, tidak bisa terlalu dipaksa nanti akan tandus,” akunya.
Tokoh adat Seko, Parawansyah Tubara mengatakan satu talukung bisa muat 80 hingga100 karung padi, setara dua ton beras Kalau makan normal, cukup untuk tiga tahun. Kalau punya tiga talukung, ya aman sembilan tahun.
Warga Seko menanam beberapa varietas lokal, seperti tarone dan mandi. Tarone adalah bintang. Rasanya tetap lembut walau nasi sudah dingin, tak mengeras seperti beras kebanyakan. Sawah di sini hanya bekerja sekali setahun, tanam bibit Januari atau Februari, panen di Juli atau Agustus.
“Lalu mereka biarkan tanah beristirahat, ditumbuhi rumput, sebelum dibajak lagi agar rumput itu menjadi pupuk alami,” ucapnya sambil memperbaiki kacamatanya.
Teknologi pelan-pelan merayap masuk. Beberapa petani mencoba traktor tangan dan combine harvester, tapi medan Seko tak selalu ramah mesin. Banyak yang tetap memanen manual, lalu membawa padi ke penggilingan di luar desa. Sistem bayarannya sederhana tapi khas, 10 kilogram gabah dibayar dengan 2 kilogram gabah sebagai ongkos giling.
Ketahanan pangan di Seko bukan cuma soal padi. Mereka memelihara sapi, kerbau, ayam; menanam sayur-mayur di kebun sendiri. Pasokan dari luar bukan keharusan bahkan bisa dibilang jarang sekali.
“Kalau pun tidak menanam lagi lima tahun, mereka tetap aman untuk beras,” tegasnya.
Asisten Penyelia Perkasan BI Sulsel, Temi Alriady yang memimpin ekspedisi kas keliling 3T BI Sulsel, tetap tidak membuatnya kehilangan senyum, meski perjalanan panjang. Kecamatan Seko adalah wilayah 3T. “BI Sulsel punya tanggung jawab memastikan uang layak edar sampai ke sini, sekaligus memberikan edukasi literasi rupiah dan transaksi digital. Kami ingin masyarakat Seko tetap terhubung dengan perekonomian nasional,” akunya.