“Harus dikenakan TPPU kepada pihak-pihak yang terlibat untuk melacak aliran uang itu ke mana dan bisa diambil, diserahkan ke negara,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Senin (11/8).
Kasus ini berkaitan dengan tambahan 20 ribu kuota haji yang diperoleh Indonesia dari Pemerintah Arab Saudi setelah pertemuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dengan pihak kerajaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Namun, Boyamin menduga pembagian itu justru dilakukan 50:50, yang jelas melanggar ketentuan undang-undang. Ia mengklaim, dari penelusurannya, setiap kuota tambahan haji khusus dijual sekitar 5.000 dolar AS atau setara Rp75 juta per orang, dikelola oleh konsorsium biro travel, dan diduga mengalir ke sejumlah oknum penyelenggara negara.
Dengan asumsi 10 ribu kuota dialokasikan untuk haji khusus dan seluruhnya dijual dengan harga tersebut, Boyamin memperkirakan kerugian negara bisa mencapai Rp750 miliar, bahkan mendekati Rp1 triliun. “Karena diduga per orang 5.000 dolar, kali 10 ribu itu sudah Rp750 miliar,” ungkapnya.
Ia menambahkan, selain ke perusahaan travel, dana tersebut juga diduga dinikmati oleh pihak-pihak tertentu di lingkaran penyelenggara negara. Oleh sebab itu, Boyamin meminta KPK untuk menelusuri aliran uang secara menyeluruh dan memastikan semua pihak yang terlibat diproses hukum dengan serius. (jpc/*)