FAJAR, MAKASSAR — Nama Anco Jansen mungkin hanya semusim berlabuh di PSM Makassar, tetapi jejaknya masih membekas di ingatan suporter. Striker asal Belanda itu datang ke Makassar pada musim 2021–2022, diboyong atas dan rumornya saat itu atas rekomendasi rekan senegaranya sekaligus kapten legendaris PSM, Wiljan Pluim. Saat itu, publik Makassar menaruh harapan besar pada duet maut Pluim–Jansen yang digadang-gadang akan mengangkat kembali taji Pasukan Ramang.
Di atas kertas, PSM memang terlihat menjanjikan. Selain Pluim dan Jansen, skuad dilengkapi dengan pemain lokal berkualitas seperti kakak beradik Yakob dan Yance Sayuri, plus winger lincah Ilham Udin Armaiyn. Optimisme mengalir deras di awal musim, apalagi PSM baru saja juara Piala Indonesia dan memasuki periode terbaik usai sanksi FIFA terhadap PSSI.
Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ekspektasi. Musim itu berubah menjadi salah satu periode paling kelam dalam sejarah PSM Makassar. Alih-alih bersaing di papan atas, tim justru terjerembab di zona degradasi hingga pekan-pekan akhir kompetisi. Bukan lagi soal gagal juara, tetapi soal bertahan di kasta tertinggi. Suporter dibuat was-was setiap pekan, berharap tim kebanggaan mereka tidak terlempar ke Liga 2.
Jansen pun tak bertahan lama. Setelah musim itu, ia dilepas klub dan akhirnya memutuskan gantung sepatu. Kini, ia lebih banyak menghabiskan waktu sebagai pundit di Belanda. Namun, meski kariernya di Indonesia singkat, pandangan Jansen tentang sepak bola nasional tampaknya tak pernah benar-benar usai. Sesekali, ia melontarkan komentar pedas yang memantik kontroversi. Pernah, ia bahkan menyebut Indonesia sebagai “negara miskin” dalam konteks sepak bola, sebuah pernyataan yang menuai pro dan kontra.