English English Indonesian Indonesian
oleh

Undang-undang Perampasan Aset: Analisis Efek Jera yang Ditimbulkan

Oleh: Hafiedz Fahmi Fahrezi
Mahasiswa Hukum Unhas

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset semakin mengemuka di kalangan legislator dan praktisi hukum.

Rancangan undang-undang ini dinilai sebagai salah satu instrumen potensial untuk memerangi kejahatan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya. Namun, di balik potensinya, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana undang-undang perampasan aset dapat menciptakan efek jera yang signifikan bagi pelaku kejahatan?

Secara konseptual, undang-undang ini bertujuan memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset yang diduga berasal dari aktivitas kriminal tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Mekanisme ini dianggap mampu memutus mata rantai ekonomi kejahatan sekaligus menghilangkan insentif finansial bagi pelaku tindak pidana.
Dalam perspektif penegakan hukum, pendekatan ini sejalan dengan prinsip “crime doesn’t pay” (kejahatan tidak boleh memberikan keuntungan). Jika pelaku kejahatan mengetahui bahwa hasil kejahatan mereka dapat dirampas kapan saja, maka secara teoritis, motivasi untuk melakukan tindak pidana akan berkurang.

Namun, skeptisisme juga muncul. Beberapa ahli berpendapat bahwa pelaku kejahatan kelas kakap seringkali telah mengantisipasi risiko hukum dengan menyembunyikan aset atau memindahkannya ke luar negeri. Selain itu, jika proses perampasan aset tidak diikuti dengan transparansi dan akuntabilitas, justru berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Dalam wacana pemberantasan kejahatan berat seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Dua instrumen hukum sering diperdebatkan: perampasan aset dan hukuman mati. Keduanya dianggap sebagai bentuk hukuman paling keras, tetapi dengan mekanisme dan dampak psikologis yang berbeda. Pertanyaannya, mana yang sebenarnya lebih efektif menciptakan efek jera?

Perampasan aset, seperti yang diusulkan dalam RUU saat ini, bertujuan memutus keuntungan ekonomi dari kejahatan. Logikanya sederhana: jika pelaku kehilangan harta haram yang dikumpulkan dengan susah payah, motivasi finansial untuk berbuat kriminal akan luntur. Berbeda dengan hukuman penjara yang hanya membatasi kebebasan, perampasan aset langsung menyentuh “dompet” pelaku. Namun, efektivitasnya bergantung pada seberapa cepat dan konsisten negara mampu menyita aset-aset tersebut. Jika prosesnya lambat atau mudah dibatalkan lewat banding, efek jera bisa menguap.

Sementara itu, hukuman mati bekerja dengan logika yang lebih ekstrem: ancaman hilangnya nyawa diharapkan membuat pelaku atau calon pelaku berpikir ribuan kali sebelum bertindak. Di Indonesia, hukuman mati untuk kasus narkotika misalnya, sering digaungkan sebagai bentuk “perang total.” Namun, secara empiris, dampaknya tidak selalu seideal retorika. Banyak penelitian, seperti studi di Filipina yang gagal mengurangi kejahatan narkoba meski ada eksekusi massal yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan terorganisir justru melihat hukuman mati sebagai risiko yang bisa diakali dengan menyogok aparat atau mempekerjakan orang lain sebagai “tumbal.”
Yang menarik, kedua instrumen ini sebenarnya menargetkan sisi berbeda dari psikologi pelaku. Perampasan aset menyasar keserakahan, sementara hukuman mati menekan insting bertahan hidup.

Persoalannya, kejahatan terorganisir jarang dilakukan oleh individu impulsif, melainkan oleh jaringan yang sudah kalkulatif. Para koruptor atau bandar narkoba, misalnya, sering kali yakin mereka cukup pintar menghindari hukum yang entah lewat peraturan atau kekuasaan. Dalam konteks ini, perampasan aset mungkin lebih mengganggu karena langsung melucuti hasil kejahatan, sementara hukuman mati bisa dianggap sebagai “risiko pekerjaan” yang masih bisa diminimalisir.

Di sisi lain, hukuman mati memiliki dampak simbolis yang kuat bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa negara tidak toleran terhadap kejahatan tertentu. Namun, apakah ini benar-benar menakutkan? Kasus korupsi yang tetap maruk meski ada vonis mati (seperti beberapa kasus di China) membuktikan bahwa ancaman ekstrem belum tentu mengubah perilaku jika sistemnya masih bocor. Sebaliknya, perampasan aset jika dijalankan transparan bisa lebih “terasa” karena langsung melenyapkan gaya hidup mewah hasil korupsi.

Jadi, mana yang lebih unggul? Jawabannya mungkin terletak pada kombinasi keduanya, plus perbaikan sistemik. Perampasan aset efektif jika didukung kecepatan eksekusi dan transparansi, sementara hukuman mati bisa dipertahankan untuk kasus-kasus tertentu sebagai bentuk afirmasi simbolis. Tetapi tanpa penegakan hukum yang konsisten dan pemberantasan mafia peradilan, kedua alat ini bisa jadi sekadar gebyar politik tanpa gigi. Pada akhirnya, efek jera tidak lahir dari kekerasan hukum semata, melainkan dari kepastian bahwa setiap kejahatan tanpa kecuali akan berujung pada konsekuensi yang nyata. (*)

News Feed