English English Indonesian Indonesian
oleh

Penemuan Artefak 1,5 Juta Tahun di Lembah Walanae, Soppeng: Istimewa dan Spektakuler

FAJAR, SOPPENG – Penemuan artefak prasejarah di Lembah Walanae, Soppeng, menarik perhatian pemerintah, khususnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kebudayaan, dan Pemerintah Kabupaten Soppeng.

Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Yogaswar, menyebut temuan ini istimewa dan spektakuler karena telah dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature. Menurutnya, menembus jurnal internasional bereputasi tinggi tersebut bukan hal mudah, sebab hanya menerima temuan baru yang signifikan dan telah melalui proses tinjauan ketat oleh para ahli arkeologi dan geologi dunia.

“Ini artinya temuan ini telah terkonfirmasi secara ilmiah, tanpa keraguan,” tegasnya.

Herry menambahkan, penemuan ini membuktikan bahwa capaian besar lahir dari riset kolaboratif jangka panjang yang berkesinambungan. BRIN, kata dia, berkomitmen mendorong penelitian serupa dengan melibatkan banyak pihak dan menghasilkan terobosan signifikan.

BRIN dan Kementerian Kebudayaan, lanjutnya, telah berbagi peran: BRIN fokus pada riset, sementara Kementerian Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) bertanggung jawab terhadap pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan situs.

“Saya membayangkan riset lanjutan ini akan memperkuat posisi Soppeng dan Lembah Walanae sebagai economic heritage atau pusat ekonomi berbasis warisan budaya. Potensinya sangat besar,” ujarnya.

Ia menegaskan, riset tidak hanya berhenti pada “ilmu untuk ilmu” (science of science), tetapi juga harus memberi dampak bagi masyarakat, termasuk pengembangan ekonomi berbasis warisan budaya. BRIN bahkan berencana memasang alat canggih Isotope Mass Spectrometer (IMS) untuk penanggalan karbon, meski instalasinya membutuhkan waktu sekitar dua tahun.

“Arkeolog tidak bisa mewawancarai artefak, karena itu benda mati. Semua harus diungkap lewat peralatan laboratorium,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala BPK Wilayah 19, Sinatryo Danuhadiningrat, menilai temuan ini penting untuk mengungkap akar peradaban Nusantara, khususnya dalam kajian evolusi manusia dan migrasi awal di Wallacea pada zaman Pleistosen.

“Lembah Walanae memiliki sekitar 10 situs prasejarah dengan peninggalan budaya luar biasa, termasuk fosil fauna. Temuan artefak batu dan fosil hominin ini menegaskan bahwa wilayah ini pernah dihuni atau dijelajahi manusia purba yang mengembangkan teknologi adaptif di lingkungan Wallacea,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya strategi pelestarian menyeluruh, dari hulu hingga hilir, dan membangun ekosistem pelestarian yang inklusif. “Pelestarian situs budaya bukan sekadar menjaga artefak dan fosil, tetapi juga merawat ingatan kolektif, memperkuat jati diri bangsa, dan membangun masa depan yang berakar pada sejarah, seni, dan budaya,” ujarnya.

Bupati Soppeng, Suardi Saleh, menyampaikan kebanggaannya atas penemuan ini dan memastikan dukungan penuh pemerintah daerah untuk kelanjutan riset di Lembah Walanae.

“Temuan ini spektakuler. Kami akan membicarakan kemungkinan penempatan artefak di museum. Sebelumnya, di sini juga ditemukan gading gajah, babi purba, dan tempurung kura-kura berdiameter hingga dua meter. Semua ini mengangkat nama Soppeng di mata dunia,” ungkapnya.

Temuan Penting

Artefak prasejarah ditemukan di Kawasan Situs Calio, Lembah Walanae, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng. Penemuan ini menjadi yang tertua di kawasan Wallacea, dengan perkiraan usia 1,1–1,5 juta tahun.

Artefak berupa alat batu, seperti benda tajam yang digunakan untuk berburu atau memotong, ditemukan dalam lapisan batu pasir yang mengendap jutaan tahun. Lokasinya berada di perkebunan jagung warga, namun tanah tersebut milik Pemerintah Kabupaten Soppeng.

Arkeolog asal Griffith University, Australia, Prof Adam Brumm, menyebut temuan ini sangat istimewa. Sebelumnya, temuan tertua di Sulawesi berada di Situs Tilipo, berusia sekitar 200 ribu tahun, yang dipublikasikan pada 2016.

“Sekarang, di Calio, ada beberapa alat batu yang menurut informasi geologi berusia lebih dari 1 juta tahun. Tidak ada situs yang lebih tua dari ini di Wallacea,” ujarnya.

Meski demikian, masih menjadi misteri siapa manusia pembuat alat batu tersebut. Adam menduga mereka adalah Pithecanthropus erectus dari Jawa yang bermigrasi ke Sulawesi melalui Kalimantan.

“Belum ada bukti fosil manusia atau alat batu yang lebih tua dari 50 ribu tahun di Kalimantan. Ini yang akan terus ditelusuri,” jelasnya. Ia juga menilai temuan ini berpotensi menggerakkan ekonomi lokal lewat pariwisata situs prasejarah, seperti yang terjadi pada destinasi lukisan gua di Maros.

Arkeolog Unhas, Budianto Hakim, menambahkan, ketertarikan peneliti internasional terhadap Soppeng bermula dari penemuan fosil gajah saat pembangunan jalan Soppeng–Bone beberapa waktu lalu.

“Sejak tahun 2000 kami melakukan penelitian intensif di Soppeng. Baru pada 2019, melalui kolaborasi multidisiplin dengan peneliti dalam dan luar negeri, kami menemukan lapisan batu pasir sangat keras—bekas muara sungai yang dahulu bertemu laut. Karena proses geologi, laguna itu terangkat ke permukaan. Itulah lapisan yang menandai pertama kali manusia purba menginjakkan kaki di Lembah Walanae,” paparnya. (Wid/ham)

News Feed