English English Indonesian Indonesian
oleh

Kejaksaan RI dan Diplomasi yang Tak Terlihat: Sempitnya Cara Kita Melihat Diplomasi di Era Modern

Oleh: Muhammad Nail Rifqillah / Mahasiswa Hukum Unhas


Waktu mencari topik untuk menulis artikel soal Kejaksaan RI untuk Program Kerja KKN, saya sadar satu hal: saya tidak ingin menulisnya dari kacamata hukum murni, walaupun sedang mengikuti KKN Tematik Hukum. Saya bukan mahasiswa hukum. Saya kuliah di Hubungan Internasional, dan itu berarti saya lebih tertarik pada peran negara di lingkup global termasuk aktor-aktor yang biasanya tidak dilihat sebagai “diplomatik.” Saya mengingat pengalaman di semester sebelumnya saat duduk di kelas “Otonomi Daerah” bahwa sebenarnya banyak institusi negara yang secara teknis tidak punya embel-embel diplomasi, seperti pemerintah provinsi dan kota, ternyata punya rekam jejak dalam urusan luar negeri. Dari situ, satu pertanyaan muncul di kepala saya: kalau begitu, bagaimana dengan Kejaksaan RI?

Terdorong rasa penasaran, saya coba tanya ke beberapa teman dari fakultas hukum. Jawaban mereka rata-rata sama: tidak tahu. Ada yang bahkan mengatakan, “Kejaksaan bukannya hanya mengurus hukum di dalam negeri aja?” Reaksi yang sama juga diutarakan oleh dosen pendamping KKN ketika memaparkan ide ini di seminar proker KKN. Jawaban dan reaksi ini cukup mencerminkan satu asumsi kuno yang tampaknya masih bertahan hidup di masyarakat: bahwa diplomasi hanya lah ranah eksklusif milik kementerian luar negeri, dan Kejaksaan hanyalah institusi dalam negeri yang sibuk mengurus perkara korupsi dan pidana di dalam ruang sidang.

Padahal kenyataannya jauh lebih menarik. Kejaksaan RI hari ini bukan hanya menuntut di pengadilan, tapi juga mengawal ekstradisi buronan di luar negeri, mengajukan bantuan hukum ke negara asing, dan memulihkan aset hasil korupsi lintas yurisdiksi. Mereka sudah menjalankan diplomasi, tapi tanpa pengakuan. Dan mungkin, sudah waktunya kita mengubah cara pandang itu karena diplomasi bukan lagi monopoli diplomat berjas dan berdasi. Saya belajar bahwa ada banyak bentuknya seperti seniman indonesia yang berdiplomasi lewat budaya dan Atlet Indonesia yang berprestasi yang sering kita sebut telah “mengharumkan nama bangsa.” Kalau kepala daerah bisa kerja sama dengan kota luar negeri, dan aktivis bisa bicara di forum global, saya rasa jaksa juga pantas dilihat sebagai bagian dari wajah Indonesia di dunia. Begitu saya mulai mencari tahu lebih dalam, saya menemukan sesuatu yang tidak pernah saya dengar di kelas dan tampaknya juga tidak masuk ke dalam narasi besar diplomasi Indonesia. Ternyata, Kejaksaan RI sudah melakukan banyak kerja diplomasi hukum. Hanya saja, mereka tidak menyebutnya dengan istilah diplomasi, dan publik juga tidak mengenalnya seperti itu.

Ambil contoh Mutual Legal Assistance (MLA) yaitu kerja sama hukum antarnegara untuk urusan penyidikan dan penuntutan. Ini bukan hal kecil. Ketika Kejaksaan ingin mengejar aset hasil korupsi yang dikirim ke luar negeri, mereka perlu jalur formal, berbasis perjanjian internasional, untuk meminta bantuan dari negara tersebut. Dan di Indonesia, salah satu aktor yang mengurus semua ini adalah Kejaksaan RI. Misalnya, dalam skandal besar korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang merugikan negara lebih dari Rp100 triliun, salah satu tantangan terbesarnya adalah aset yang tersebar di berbagai negara. Salah satu kasus yang terkenal adalah milik obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, yang kabarnya memiliki aset di Singapura dan tempat-tempat lain di luar negeri. Dalam penanganan ini, Kejaksaan RI ikut serta dalam proses pengajuan MLA dengan institusi luar negeri untuk mengakses data rekening, transaksi, dan jejak keuangan lainnya yang tidak bisa dijangkau oleh aparat dalam negeri. Singkatnya: ini mungkin tidak terlihat seperti diplomasi, tapi nyatanya itulah yang sedang mereka jalankan.

Tapi ketika bantuan hukum tidak lagi cukup dan negara ini ingin membawa pulang pelakunya, Kejaksaan harus naik satu level: menangani ekstradisi. Publik biasanya merayakan keberhasilan ekstradisi dengan headline besar tapi jarang yang tahu betapa rumitnya proses di balik itu. Ekstradisi adalah negosiasi hukum yang panjang, teknis, dan politis. Dan Kejaksaan RI berperan besar dalam menggerakkan semua itu.

Ambil contoh ekstradisi Maria Pauline Lumowa, salah satu buronan kelas kakap dalam kasus pembobolan BNI senilai lebih dari Rp1,7 triliun. Ia melarikan diri ke Belanda, lalu akhirnya ditemukan di Serbia. Kunci dari seluruh proses tidak hanya ada di kementerian luar negeri, tapi di Kejaksaan. Mereka yang menyusun dokumen permintaan. Mereka yang memahami hukum ekstradisi Serbia. Dan proses ini bukan tanpa dasar. Peran Kejaksaan dalam ekstradisi diatur jelas dalam UU No. 1 Tahun 1979 dan Peraturan Kejaksaan No. 6 Tahun 2018. Mulai dari pengajuan permintaan resmi oleh Jaksa Agung, pendampingan teknis oleh Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, hingga penunjukan jaksa khusus ekstradisi yang mewakili negara di pengadilan. Bahkan proses penjemputan dan serah terima pun dikoordinasikan langsung oleh Kejaksaan. Sayangnya, kerja besar ini sering tidak terlihat karena kita terlalu terjebak pada imajinasi lama tentang diplomasi. Diplomasi, bagi banyak orang, masih berarti pidato di forum internasional dan negosiasi perdagangan. Padahal hari ini, diplomasi juga berarti mengembalikan buronan korupsi dari seberang benua dan di sana Kejaksaan RI sudah membuktikan diri berkali-kali.

Jika ekstradisi adalah bentuk diplomasi yang langsung terasa dampaknya, maka MoU adalah diplomasi yang bekerja dalam jangka panjang. MoU memberikan dasar hukum dan saluran komunikasi tetap antara Kejaksaan RI dan mitra asing. Kejaksaan RI telah menandatangani sejumlah MoU dengan berbagai institusi hukum di luar negeri. Daftarnya cukup panjang: Amerika Serikat, Kamboja, Hong Kong, Palestina, Rusia, Korea Selatan, Mauritius, dan negara-negara lain di ASEAN. Selain itu, Kejaksaan juga berperan aktif dalam organisasi seperti CARIN (Cambridge Asset Recovery Interagency Network), ARIN-AP (Asset Recovery Inter-Agency Network for Asia and the Pacific), IAP (International Association of Prosecutors), dan juga ASEAN Prosecutor Body. Bentuk kerjasamanya bervariasi, mulai dari pertukaran informasi hukum, pelatihan jaksa, hingga koordinasi penanganan kejahatan lintas negara.

Dari semua itu, salah satu yang paling menarik adalah MoU dengan Palestina pada 2021. ada Selasa, 31 Mei 2021, bertempat di Menara Kartika Adhyaksa, Kejaksaan RI dan Kejaksaan Palestina menggelar pertemuan pendahuluan secara virtual untuk membahas rencana kerja sama bilateral. Pertemuan ini dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM-Pembinaan), Dr. Bambang Sugeng Rukmono, yang secara terbuka menyambut baik tawaran dari Palestina. Dalam diskusi tersebut, fokus kerja sama mencakup pertukaran informasi dalam penanganan perkara pidana, peningkatan kapasitas jaksa melalui pelatihan, serta kerja teknis dalam ruang lingkup yurisdiksi masing-masing. Tidak hanya itu, Kementerian Luar Negeri RI, melalui Direktur Timur Tengah, turut hadir dan menyatakan bahwa dukungan ini adalah bagian dari komitmen Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina. Sayangnya, karena kerja seperti ini tidak digelar dalam forum multilateral besar atau tidak mendapat sorotan media, ia sering tidak dikenali sebagai bentuk diplomasi. Padahal inilah diplomasi hukum yang sebenarnya: konkret, relevan, dan bagian dari strategi global Indonesia.

Awalnya saya hanya ingin menulis artikel yang beda, sesuatu yang tetap relevan dengan latar belakang saya di Hubungan Internasional, tapi tidak terlalu teknis seperti kebanyakan tulisan soal Kejaksaan. Dari satu kelas dan beberapa obrolan dengan teman-teman hukum, saya mulai sadar: mungkin kita selama ini terlalu cepat mengotak-ngotakkan siapa yang bisa disebut aktor diplomasi. Ternyata Kejaksaan RI punya rekam jejak yang cukup kuat dalam urusan luar negeri. Dari ekstradisi buronan, pemulihan aset lintas negara, sampai kerjasama kelembagaan dengan negara seperti Palestina. Hal-hal ini mungkin tidak banyak dibahas, tapi peran itu nyata. Dan semakin saya pelajari, semakin jelas bahwa ini bukan pengecualian. Selama ini, diplomasi sering dibayangkan sebagai urusan formal para diplomat. Narasi ini begitu kuat sampai-sampai kita sulit membayangkan bahwa diplomasi juga bisa terjadi lewat hal-hal lain. Apa yang dilakukan Kejaksaan RI jelas menunjukkan hal itu. Mereka mungkin tidak masuk dalam definisi “aktor diplomatik” selama ini, tapi mereka tetap mewakili negara, membangun hubungan lintas batas, dan memperjuangkan kepentingan hukum Indonesia di ranah internasional. Artinya, mereka juga berdiplomasi hanya saja dengan cara yang berbeda.

Buat saya, pelajaran dari semua ini cukup sederhana: diplomasi tidak selalu tampak mewah dan elit, dan tidak selalu datang dari tempat yang kita kira. Dan mungkin sudah waktunya kita menggeser cara pandang lama. Dan mungkin, itu layak kita sadari lebih awal. (*/)

News Feed