English English Indonesian Indonesian
oleh

Penyakit Gerd dan Stres

Oleh: dr. Muh. Gatra Pratama, Sp.KJ
Dosen FK UNM

GERD atau Gastroesophageal Reflux Disease adalah kondisi kronis ketika asam lambung naik ke kerongkongan. Gejalanya beragam: nyeri dada seperti terbakar (heartburn), rasa pahit di mulut, kembung, bahkan batuk kronis. Banyak yang mengira penyebab utamanya adalah makanan pedas atau asam, tetapi faktor psikologis seperti stres justru memainkan peran yang tak kalah penting.

Hubungan antara stres dan sistem pencernaan dapat terjadi melalui konsep gut-brain axis, yaitu jalur komunikasi dua arah antara otak dan saluran cerna. Saat stres, tubuh melepaskan hormon seperti kortisol yang bisa memicu peningkatan produksi asam lambung, memperlambat pengosongan lambung, dan membuat kerongkongan lebih sensitif terhadap iritasi. Dengan kata lain, stres bisa membuat lambung “berontak”.

Gejala GERD yang muncul akibat stres bisa menimbulkan kecemasan baru, bahkan membuat seseorang sulit tidur atau makan dengan tenang. Stres dan GERD: keduanya saling memperburuk, dan sulit diputus tanpa pendekatan yang menyeluruh.

Penanganan GERD tidak cukup hanya dengan minum obat antasida atau penghambat asam lambung. Pendekatan penanganan secara holistik yang mencakup pengelolaan stres. Terapi relaksasi, mindfulness, hingga terapi kognitif perilaku (CBT) dapat membantu meredakan gejala GERD yang dipicu oleh stres. Olahraga ringan, tidur cukup, serta menjaga pola makan adalah cara yang dapat mencegah terajdinya GERD.

Tubuh dan pikiran adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketika tubuh memberi sinyal dalam bentuk gejala fisik, bisa jadi itu adalah cerminan dari kondisi psikologis yang sedang terganggu. Jika mengalami gejala GERD yang tidak kunjung membaik, jangan hanya fokus pada obat lambung, baiknya juga melihat kondisi pikiran. Barangkali, yang sedang butuh disembuhkan bukan hanya lambung, tetapi juga beban hidup (stressor ) yang tak terlihat. (*)

News Feed