English English Indonesian Indonesian
oleh

Hukum Tunduk pada Politik? Kasus Tom Menjawabnya

Oleh: Nur Azzah Fadila,
Mahasiswa magister ilmu hukum Universitas Hasanuddin

Kasus Thomas Trikasih “Tom” Lembong seharusnya menjadi ujian bagi komitmen Indonesia terhadap supremasi hukum. Nyatanya, yang terjadi justru ujian itu berubah jadi tontonan bagaimana kekuasaan dapat menghapus putusan pengadilan dengan selembar kertas.

Pada 18 Juli 2025, pengadilan menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada mantan Menteri Perdagangan ini karena mengizinkan impor gula oleh pihak swasta di luar mekanisme resmi, merugikan negara hampir Rp600 miliar. Semua bukti, semua argumen hukum, semua rangkaian persidangan, mendadak seperti tak pernah ada. Sebab, hanya dua minggu kemudian, Presiden Prabowo Subianto meneken keputusan abolisi yang menghapus seluruh proses hukum terhadap Tom, bahkan ketika ia sedang mengajukan banding. Vonis itu hilang dari sejarah, seakan-akan proses hukum hanya catatan sementara yang bisa disobek kapan saja oleh tangan penguasa.

Abolisi memang hak prerogatif presiden. Konstitusi mengizinkan. Tetapi mari kita jujur: hak prerogatif bukan berarti hak absolut tanpa batas. Abolisi berbeda dari amnesti. Amnesti masih mengakui bahwa ada putusan, hanya saja pelaksanaannya ditiadakan. Abolisi justru menghapus perkara dari akar, seperti mencabut pohon beserta akarnya, lalu menguburnya dalam-dalam agar tak ada yang mengingatnya. Ketika langkah ekstrem seperti ini diambil untuk kasus yang menyangkut dugaan korupsi, publik berhak bertanya: ini upaya memulihkan keadilan, atau melindungi kekuatan politik?

Argumen Presiden bahwa ini demi “rekonsiliasi nasional” terdengar manis, apalagi menjelang perayaan kemerdekaan. Tapi mari pikirkan, rekonsiliasi untuk siapa? Rakyat yang setiap hari membayar pajak dan berharap uang negara digunakan dengan benar? Atau elite politik yang ingin memastikan semua pihak “penting” berada dalam satu perahu menjelang pemilu? Jika alasan persatuan dijadikan pembenar untuk membatalkan proses hukum, maka kata “persatuan” sendiri kehilangan makna, menjadi sekadar kamuflase untuk mengamankan kepentingan tertentu.

Ironisnya, Tom bukan satu-satunya menteri perdagangan yang mengurusi impor gula. Enggartiasto Lukita dan Muhammad Luthfi juga tercatat memberikan izin impor di masa mereka. Namun hanya Tom yang duduk di kursi terdakwa. Pertanyaan pun muncul: mengapa hukum memilih siapa yang dihukum dan siapa yang dibiarkan? Dan mengapa, ketika sudah dihukum, ada yang diselamatkan dengan abolisi? Jika kita percaya pada asas equality before the law, ini jelas bertentangan. Jika kita percaya bahwa hukum harus tegak lurus, maka yang terjadi di sini adalah hukum yang melengkung mengikuti arah politik.

Sebagian pembela Tom mengatakan bahwa proses pengadilannya cacat, bahkan Komisi Yudisial menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim yang memutus perkara ini. Baiklah, kalau memang begitu, ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh: banding, kasasi, peninjauan kembali. Jalur-jalur ini ada untuk memperbaiki kesalahan peradilan. Tetapi memilih jalur abolisi sama saja dengan mengirim pesan bahwa proses hukum tak perlu diselesaikan; cukup tunggu tanda tangan presiden, dan semua masalah hilang. Pesan ini berbahaya, bukan hanya untuk kasus Tom, tetapi untuk semua kasus besar di masa depan. Kita bisa saja menghadapi masa di mana para terdakwa kasus korupsi berlomba-lomba mencari kedekatan politik, bukan membela diri di pengadilan.

Bagi saya, inilah inti persoalan: apakah kita masih percaya pada supremasi hukum, atau kita sudah menyerah pada supremasi kekuasaan? Supremasi hukum berarti hukum adalah panglima, bahkan di atas presiden. Supremasi kekuasaan berarti presiden bisa menjadi panglima di atas hukum. Abolisi terhadap Tom Lembong adalah contoh telanjang bagaimana garis pembatas itu bisa dilangkahi dengan mudah. Dan ketika garis itu dilangkahi sekali, apa jaminan ia tidak akan dilangkahi lagi?

Keputusan ini mungkin akan disambut tepuk tangan oleh sebagian pihak yang menganggap Tom korban kriminalisasi, dan mungkin akan menjadi amunisi politik untuk menguatkan koalisi kekuasaan. Tapi di balik semua itu, ada risiko yang jauh lebih besar: hancurnya kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Kepercayaan itu tidak runtuh dalam sehari; ia retak sedikit demi sedikit, setiap kali hukum dibelokkan oleh kekuasaan. Dan ketika ia benar-benar runtuh, yang tersisa hanyalah keyakinan pahit bahwa keadilan adalah milik mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Itulah sebabnya saya menilai abolisi Tom Lembong bukan sekadar keputusan hukum, melainkan deklarasi politik. Deklarasi bahwa dalam pertarungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan masih menang telak. Dan selama itu yang terjadi, kita semua harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita siap hidup di negara di mana hukum tunduk pada politik? Atau kita masih punya nyali untuk menuntut yang sebaliknya? (*)

News Feed