English English Indonesian Indonesian
oleh

Bendera Luffy: Politik Ruang dan Pertarungan Simbol di Era Digital

Kaburnya batas ruang Digital dan ruang Fisik

Fenomena ini membantah dikotomi online-offline yang ada. Di Yogyakarta, bendera Luffy dikibarkan di depan kantor DPRD—sebuah translasi ruang virtual ke konkret, mirip aksi “Cicak vs Buaya” tahun 2009 yang disitir Lim di tahun 2015. Grafiti bendera Luffy yang ada di tembok-tembok kota Jakarta dan kota Surabaya tidak bisa lagi di anggap bukan vandalisme. Ia adalah fenomena reclaiming public space — klaim ulang ruang yang direbut iklan korporasi dan poster kampanye elite.

Politik Ruang dan Resistensi Marginal

Namun fenomena itu hanya ada di kota, ada paradoks yang terjadi dengan yang terjadi di desa, dimana 57% desa di Indonesia belum terjangkau internet (BPS, 2024), viralitas #BenderaLuffy justru mengungkap ketimpangan, dimana ruang digital adalah sebuah privilege. Pada saat yang sama kita bisa mengingat betapa kasus Ahmadiyah yang ada dalam studi Lim, menunjukkan bahwa kelompok rentan tak bisa viral, dan karena tidak viral maka ia akan diabaikan. Algoritma menghukum konten “berisiko”— sebuah algorithmic violence. Ke depan, perlu kita pikirkan kembali, apakah kita harus berada di sebuah ruang bersama secara digital, ataukah kita tetap berada ditempat masing-masing? Agar “click” bisa menjadi “stick”, saya pikir kita memerlukan desentralisasi akses. Infrastruktur internet harus menjangkau ruang-ruang yang terpinggirkan di pedesaan dan kawasan miskin kota. Kita juga memerlukan keterampilan membajak algoritma. Para aktivis perlu strategi menguasai ruang hybrid, menguasai literasi digital untuk menaklukkan mesin algoritma demi upaya menyerap suara marginal.

News Feed