English English Indonesian Indonesian
oleh

Bendera Luffy: Politik Ruang dan Pertarungan Simbol di Era Digital

Oleh: Arief Wicaksono
Akademisi Universitas Bosowa, Pemerhati Ruang

Dalam minggu pertama Agustus 2025 ini, ruang digital Indonesia menjelma menjadi medan perang simbolik, ketika 14.182 mentions bendera One Piece — terutama bendera Luffy — membajiri platform digital. Tagar #BenderaLuffy dan #MerdekaVersiRakyat bukan sekadar ekspresi fandom, melainkan rebutan ruang publik di tengah krisis representasi politik. Di sini, budaya pop menjadi senjata merebut hak narasi — sebuah fenomena yang dapat menguak dinamika politik ruang (politics of space) di Indonesia.

Ruang Digital: Medan Pertarungan Baru

Sejak Merlyna Lim (2015) mengkritik romantisme revolusi digital, ruang online telah berubah drastis. Algoritma kemudian muncul sebagai kuasa baru yang memunculkan istilah baru seperti misalnya, “kalau tidak viral, tidak ada keadilan”. Viralitas #BenderaLuffy bukan kebetulan. Ia adalah hasil desain algoritmik —konten ringan (light package) dan visual mencolok (trailer vision) yang disukai mesin. Tapi ini juga sekaligus dapat menjadi jebakan, bahw kritik sosial akhirnya hanya bisa dikemas menjadi komoditas yang dikonsumsi, bukan dipecahkan. Kecenderungan ini bisa kita korek dari data yang disajikan Drone Emprit, yang mengonfirmasi bias Lim diatas, yaitu sebanyak 82% partisipan berasal dari kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya). Ruang digital didominasi suara mereka yang punya akses, mirip sebuah gentrifikasi atas wacana.

Subversi Ruang Simbolik

Viralnya Bendera Luffy dapat juga dimaknai sebagai tindakan spatial sabotage, dimana makna “merdeka” yang memonopoli romantisme imaji bulan Agutus, kemudian rusak, hancur berkeping. Negara mengklaim ruang simbolik kemerdekaan melalui upacara dan orasi. Kemudian tagar #MerdekaVersiRakyat membajaknya jadi kritik, “Merdeka versi siapa?” Unggahan TikTok / Instagram yang memamerkan bendera di kamar kos atau kafe, adalah pernyataan yang menyulap ruang privat menjadi arena publik, dimana “Tubuhku adalah ruang politik.” Sehingga di era represi saat ini, ruang paling privat adalah lokus revolusi paling subversif.

News Feed