Oleh: Khaerul Fadli | FAJAR, BULUKUMBA
Suara mesin gergaji dan raungan ekskavator menggema di Dusun Bonto Tappalang, Herlang, Bulukumba, Senin pagi itu. Namun bukan deru alat berat yang paling menyayat, melainkan isak tangis warga yang tak kuasa menahan emosi saat dua rumah mereka diratakan.
Perempuan dan anak-anak berdiri di tepi kebun. Beberapa memeluk tiang rumah yang sebentar lagi akan roboh. Sebagian lagi hanya bisa pasrah, menatap pohon-pohon yang ditebang satu per satu. Di atas tanah seluas 7.775 meter persegi itu, air mata dan kenangan bercampur jadi satu.
Ini bukan sekadar eksekusi lahan. Bagi mereka, ini adalah pengusiran dari ruang hidup yang telah mereka rawat selama bertahun-tahun.
Namun, aparat yang datang tak serta-merta membentak atau memaksa. Mereka turun dengan pendekatan berbeda lebih tenang, lebih mendengarkan. Sekitar 100 personel gabungan dari Polres dan Polsek Herlang berjaga, dipimpin langsung Kabag Ops Polres Bulukumba, AKP Andi Akbar Munir.
“Sempat ada penolakan dari pihak tergugat, tapi situasi bisa dikendalikan karena kita lakukan pendekatan secara humanis,” ujar Andi Akbar.
Setelah situasi kondusif, panitera Pengadilan Negeri Bulukumba membacakan amar putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tak lama, suara mesin kembali menderu, tanda proses eksekusi dimulai.
Kapolres Bulukumba, AKBP Restu Wijayanto, menegaskan bahwa kehadiran polisi dalam proses ini adalah bagian dari menjalankan putusan pengadilan yang sah.
“Kami hanya menjalankan tugas negara. Tugas kami memastikan eksekusi berjalan aman, tertib, dan sesuai prosedur,” tegasnya.