FAJAR, MAKASSAR — Bendera itu berkibar di banyak tempat. Di atap rumah warga. Di sudut gang kota. Ada yang memasangnya berdampingan dengan Merah Putih, bahkan satu tiang. Warnanya hitam, simbol tengkorak mengenakan topi jerami. Simbol yang akrab bagi para penggemar anime, One Piece.
Namun bendera fiksi itu justru membuat riuh dunia nyata. Media sosial geger. Pemerintah gelisah. Senayan bicara.
“Kami dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan. Ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan,” ujar Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.
Narasi pun bergeser dari kekaguman budaya pop ke isu keamanan negara. Apalagi momen ini muncul menjelang perayaan Hari Kemerdekaan ke-80. Bendera bajak laut dinilai menyalahi etika, bahkan dicurigai sebagai simbol makar.
Benarkah demikian?
Di tengah inflasi kekecewaan dan stagnasi kebijakan, banyak yang melihat aksi ini sebagai bentuk protes. Ekspresi rakyat biasa yang lelah bicara dalam bahasa politik formal. Maka mereka memakai bahasa yang mereka pahami yaitu anime, simbol, fandom.
One Piece bukan sekadar tontonan. Serial itu menyodorkan kisah perlawanan terhadap kekuasaan absolut. Pemerintahan dunia yang korup. Penindasan oleh aparat. Kelompok kecil bajak laut yang justru jadi pembela keadilan.
Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, berlayar bukan untuk menjajah, melainkan membebaskan. Armada topi jerami menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang timpang.
Simbol ini pula yang pernah dikenakan Gibran Rakabuming Raka saat kampanye pilpres lalu. Pin bergambar topi jerami tersemat di kemeja kirinya, dalam sejumlah penampilan publik. Gaya yang tak biasa bagi politisi, tapi sangat terbaca oleh generasi muda.