Indonesia sendiri, kata dia, tengah dihadapkan pada masalah penyalahgunaan media sosial dan internet untuk penyebaran informasi yang salah. Bahkan, penipuan oleh pelaku guna merekrut dan menipu korban, serta menyembunyikan jejak mereka.
“Dan ini adalah tantangan terbesar dalam memberantas TPPO saat ini, modus operandi yang semakin beragam dan kompleks, serta kebutuhan untuk memperkuat kerja sama internasional,” ungkapnya.
Menurutnya, komitmen pemerintah dalam memberantas TPPO telah diwujudkan dengan menghadirkan sejumlah payung hukum. Ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan peraturan turunan lainnya.
Kemudian, ada Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (GT PP TPPO) di tingkat pusat maupun daerah yang juga telah dibentuk. Namun diakuinya, perlu kerja sama dan kolaborasi antar Kementerian/Lembaga, antara pusat dan daerah, dunia usaha, akademisi dan masyarakat yang lebih solid lagi dalam memberantas TPPO ini. Apalagi, TPPO ini sudah menjadi kejahatan lintas daerah dan lintas negara yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. “Pemberantasannya membutuhkan sinergi dan kolaborasi dari banyak pihak,” pungkasnya.
Senada, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pun mengamini bahwa bentuk, modus dan tujuan TPPO terus berkembang, semakin kompleks, bahkan tidak selalu dikenali.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti, perkembangan modus, tujuan, dan cara kerja TPPO kian sulit dikenali lantaran terus bertransformasi, termasuk melalui teknologi digital. Dalam dua tahun terakhir misalnya, muncul modus baru yang memanfaatkan teknologi digital, seperti pemaksaan menjadi operator judi daring dan pelaku penipuan online (scammer). Perempuan kerap direkrut melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan situs lowongan kerja palsu.