FAJAR, MAKASSAR— Di tengah laju modernisasi dan deru mesin, jejak perahu layar tradisional perlahan memudar dari ingatan. Di pesisir Bulukumba, Sulawesi Selatan—wilayah yang dikenal sebagai rumah lahirnya kapal Pinisi—generasi muda kini lebih mengenal perahu bermesin dibandingkan tiang tinggi dengan layar menjulang yang dulu menantang angin.
Realitas ini menggambarkan pergeseran dari tradisi bahari menuju modernitas yang tak terelakkan. Konsekuensinya, pemahaman budaya dan identitas maritim pun ikut tergerus. Padahal, Pinisi telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO sejak tahun 2017, sebuah pengakuan dunia atas kejeniusan maritim nenek moyang bangsa.
Dg. Nyanrang, pelaut yang turut serta dalam pelayaran Nur Al Marage (2019–2020), menyesalkan semakin hilangnya pengetahuan sejarah evolusi kapal. “Pinisi itu berkembang dari Padewakkang. Dulu, banyak Padewakkang di Galesong digunakan untuk melaut. Tapi sekarang, sudah tidak ada lagi karena semua diganti dengan mesin,” ujarnya.
Ia menjelaskan, identitas sejati sebuah kapal terletak pada layarnya. Padewakkang menggunakan layar tanjak, sedangkan saat berkembang menjadi Palari, jenis layarnya disebut Pinisi. Hal ini memperlihatkan bahwa layar bukan sekadar elemen teknis, melainkan simbol dari kearifan dan filosofi maritim. Sejarawan maritim Horst H. Liebner pun menegaskan, keunggulan pelaut nusantara terletak bukan hanya pada kemahiran membuat kapal, tetapi juga kemampuan mengadaptasi teknologi layar dengan nilai budaya yang khas (Liebner, 2019).
Namun kini, layar-layar itu sering kali hanya dijadikan ornamen atau bahkan tak lagi digunakan. Efisiensi dan kecepatan kapal bermesin menjadi pilihan utama. Pengetahuan tentang teknik layar, arah angin, hingga filosofi dalam struktur kapal pun perlahan dilupakan.
Kondisi ini menciptakan dilema antar generasi. Generasi tua masih menyimpan memori dan makna di balik setiap simpul tali layar, sementara generasi muda melihat perahu semata sebagai alat ekonomi modern. Tradisi dianggap usang dan tidak praktis. Bukan sepenuhnya kesalahan mereka, melainkan dampak dari perubahan sosial dan ekonomi yang menuntut efisiensi dan daya saing.
Tantangan ke depan bukanlah menolak kemajuan, tetapi menjembatani kesenjangan ini. Bagaimana nilai dan pengetahuan di balik layar dapat tetap hidup di tengah modernisasi? Ini membutuhkan sinergi lintas generasi—membuat warisan maritim tetap relevan, menarik, dan inspiratif bagi anak muda.
“Inilah alasan kenapa cerita ‘Sombalak Lopi’ (Layar Kapal) penting untuk diangkat ke layar lebar,” ujar Mohammad Ikhwan Muharram, sutradara sekaligus penulis cerita. “Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi refleksi realitas dan perjuangan generasi muda dalam menemukan kembali jati dirinya di tengah arus modernisasi.”
Sombalak Lopi merupakan bagian dari trilogi maritim yang dimulai dengan Dendang Bantilang (2018) dan Panrita Lopi (2021). Film ketiganya ini direncanakan diproduksi tahun ini dengan semangat kolaboratif, sebagai upaya membangkitkan kembali jiwa bahari dan mengingatkan publik bahwa esensi dari Pinisi ada pada layar—simbol dari pengetahuan intuitif, adaptif, dan kebanggaan budaya yang mendalam. (*)