FAJAR, BANDUNG — Di Liga 1 Indonesia, rivalitas bukan sekadar soal papan skor. Ia hidup dalam kenangan, dibentuk oleh sejarah, dan ditentukan oleh mereka yang berdiri di garis pinggir lapangan. Seperti dua tim era perserikatan PSM Makassar dan Persib Bandung. Di antara mereka, ada satu nama yang menjadi penghubung sekaligus pembeda: Bojan Hodak.
Ketika Bojan Hodak Masih Merah
Tahun 2019, angin perubahan berembus ke arah tim Pasukan Ramang. PSM Makassar, klub tertua tengah bergairah dan terus melakukan perubahan pasca juara Piala Indonesia. PSM berganti pelatih lalu datanglah seorang pria berkepala plontos dari Zagreb, Bojan Hodak, pelatih yang sudah malang melintang di Asia Tenggara. Saat itu, harapan bertumpu pada pengalaman dan sentuhan taktisnya.
PSM percaya. Suporter menaruh harapan. Dan Hodak memulai proyeknya dengan serius. Di awal musim, PSM terlihat menjanjikan. Hodak menyusun skuad dengan disiplin tinggi, mengubah gaya main jadi lebih agresif tapi efisien.
Namun, tak semua cerita punya panggung panjang. Pandemi COVID-19 menghentikan kompetisi. Liga dibekukan. Hodak pun harus pergi. Bukan karena gagal, tapi karena waktu tak memberinya kesempatan.
PSM dan Hodak pun berpisah dalam ketidakpastian. Tapi buat Makassar, nama Hodak tetap lekat, sebagai “mantan” yang belum sempat menunjukkan potensi sebenarnya.
Dari Kenangan Menjadi Ancaman
Beberapa tahun berselang, jalan PSM dan Bojan Hodak kembali bersilangan. Bukan sebagai rekan, tapi sebagai rival. Hodak saat itu menjadi arsitek klub luar negeri, Kuala Lumpur City FC. Di final AFC Cup Zona ASEAN, PSM Makassar bertemu tim asuhan Hodak. Hasilnya? PSM kalah. Hodak menang.