FAJAR, MAKASSAR — Musim 2016. Sepak bola Indonesia baru saja keluar dari masa gelap. Sanksi FIFA dicabut, kompetisi kembali disusun. Tapi bukan langsung dengan Liga 1, melainkan lewat Indonesia Soccer Championship (ISC), sebuah turnamen pengganti yang menjadi panggung transisi. Klub-klub raksasa mencoba menata ulang napas. Sementara tim-tim medioker mengintip peluang.
Di tengah gemuruh, PSM Makassar tidak banyak bicara. Tapi mereka bergerak.
Klub tua dari timur ini diam-diam membangun ulang jati diri mereka. Tanpa gegap gempita, tanpa belanja gila-gilaan. Tapi satu hal yang jelas: mereka ingin kembali menjadi kekuatan yang disegani.
Era Robert Rene Alberts: Bangun Ulang Fondasi Tim
Datanglah Robert Rene Alberts. Pria Belanda ini datang ke Makassar bukan membawa janji, tapi filosofi. Ia tak menjanjikan gelar di musim pertama, tapi dia membangun pondasi. Ia memoles tim dengan telaten, memilih pemain bukan berdasarkan nama besar, tapi karakter dan kesesuaian taktik.
Duet Marc Klok dan Wiljan Pluim jadi nyawa permainan. Di lini belakang, ada Hamka Hamzah dan Zulkifli Syukur, dua bek senior dengan kepemimpinan yang menular. PSM berubah menjadi tim yang menyulitkan siapa pun. Tak banyak bintang, tapi mereka tahu cara bertarung.
Pelan-pelan, PSM mengembalikan aura Pasukan Ramang. Aura juara itu tak lagi jadi sejarah semata. Mereka menjadi tim yang dihormati dan ditakuti. Dan tanpa banyak orang sadari, mereka juga sedang mencetak “warisan”.
Persib Menengok Timur: Mencari Identitas Lewat Sosok Robert