Pdt. Musa tak hanya bicara hukum. Ia bicara soal nurani. Soal bagaimana negara yang dibangun di atas Pancasila dan UUD 1945 harusnya tidak membiarkan intimidasi terhadap warga yang hanya ingin beribadah, apapun agama mereka.
“Bangsa ini bangga dengan Pancasila, dengan jaminan kebebasan beragama. Tapi dalam praktiknya, kebebasan itu kadang digunakan untuk menekan yang berbeda. Yang minoritas. Yang dianggap tidak punya suara,” ucapnya.
Ia tahu, kata-katanya bisa dianggap keras. Tapi justru karena diam terlalu lama, kasus-kasus seperti ini terus berulang. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing oleh provokasi, tetapi juga menuntut aparat hukum untuk tak lagi berpura-pura tak melihat.
Dari Toraja, ia mengajak untuk belajar. Sebab di sana, keharmonisan bukan sekadar wacana. Dalam satu Tongkonan rumah adat Toraja bisa hidup satu rumpun keluarga yang beragam: ada yang Muslim, Kristen Protestan, Katolik, bahkan masih menganut kepercayaan leluhur, Aluk Todolo. Tak ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain.
“Kita hidup berdampingan. Beda agama bukan alasan untuk membenci. Di Toraja, kami terbiasa dengan perbedaan,” ujar Musa.
Itulah sebabnya, ketika peristiwa intoleransi terjadi, Musa tak tinggal diam. Ia berharap polisi di Padang tidak berhenti pada pelaku lapangan. Jika ada dalang intelektual di balik persekusi itu, ia mendesak agar diusut hingga ke akar.
“Jangan beri kelonggaran. Hukum harus ditegakkan. Kalau dibiarkan, persekusi akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.”
Sementara itu, jemaat GKSI di Padang masih berusaha pulih dari trauma. Mereka hanya ingin menjalankan iman tanpa gangguan, tanpa kekerasan. Sama seperti jutaan umat lainnya di negeri ini yang setiap hari memanjatkan doa dalam tenang.