English English Indonesian Indonesian
oleh

Ma’REFAT Institute Soal Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam Proyek Ketahanan Pangan

FAJAR, MAKASSAR-Ma’REFAT Institute Sulawesi Selatan kembali menggelar agenda diskusi bulanan bertajuk REFORMING ke-24, pada Minggu, 27 Juli 2025. Bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar, pertemuan kali ini mengusung tema: “Menyoal Pemanfaatan Sumber Daya Alam pada Implementasi Proyek Ketahanan Pangan.”

Diskusi yang berlangsung mulai pukul 14.00 ini, menghadirkan dua pemantik sekaligus narasumber utama: Akademisi/Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas, Ir. Syamsul Arifin Lias, M.Si; serta Direktur LINGKAR (Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat) Sulawesi, Muadz Ardin, S.P., M.P.

Syamsul Arifin membuka diskusi dengan pertanyaan, “Apakah kata pemanfaatan sudah tepat digunakan dengan melihat kondisi riil hari ini?”

Akademisi Unhas ini, mengajak peserta untuk melihat lebih kritis implementasi program ketahanan pangan di Indonesia. Menurutnya, konsep ketahanan pangan memuat setidaknya lima prinsip dasar: ketersediaan pangan, akses masyarakat, keamanan, kesesuaian dengan budaya lokal dan terakhir berkelanjutan. Jika salah satu prinsip saja dihilangkan, maka kita tidak sedang mewujudkan ketahanan pangan.

“Kalau prinsip berkelanjutan tidak bisa diimplementasikan, maka jelas ini bukan pemanfaatan,” pungkas Syamsul Arifin.

Baginya, apa yang terjadi di lapangan bukanlah bentuk pemanfaatan, melainkan eksploitasi sumber daya alam untuk segelintir orang. Ia mencontohkan Pangkep sebagai daerah penghasil semen. Daerah ini disekploitasi untuk industri ekstraktif tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat setempat.

“Harusnya kita komitmen pada kebijakan dan kemudian konsisten pada prosesnya.” Namun yang terjadi, jauh panggang dari api.

Syamsul Arifin mencontohkan, undang-undang perlindungan dan pemeberdayaan petani No. 19 tahun 2013 diubah total dengan kehadiran UU Cipta Kerja: pasal 15 pada undang-undang sebelumnya yang melarang impor pada saat panen raya diubah menjadi impor bisa dilakukan kapan saja, dengan biaya masuk dikurangi menjadi 1% saja, dan sanksi denda bagi yang melanggar dihilangkan.

“Jika kondisi riilnya seperti ini, di mana konsep pemanfaatannya? Sebenarnya di mana keuntungan sumber daya ini dialokasikan?” Tutup Syamsul Arifin.

Mengambil alih sesi, Muadz Ardin menuturkan, ketahanan pangan adalah cita-cita terbesar negara ini. Menurutnya, ketahanan pangan mestilah dicapai dengan dua cara: mewujudkan produksi pangan yang cukup dan ketersedian pangan yang bisa diakses oleh masyarakat. “Dalam mewujudkannya harus berlandaskan pada kondisi ekologi, sosial dan budaya setempat.”

Program ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah, melalui kebijakan food estate ataupun cetak sawah telah mengabaikan pangan-pangan lokal masyarakat, dan membuat ketergantungan pada beras sebagai sistem pangan utama. “Ini adalah kecelakaan sejarah. Sebelum Indonesia terbentuk, komunitas-komunitas lokal memiliki bahan pangan yang beragam.”

Muadz mengajak peserta melihat beberapa contoh proyek ketahanan pangan pemerintah yang berakhir gagal. Misalnya, proyek food estate di Kalimantan Tengah yang kini dialih fungsikan untuk perkebunan sawit. Juga program seperti di Sumatera Utara, dengan alasan ketahanan pangan, petani setempat menanam komoditi pangan yang tidak mereka konsumsi, yaitu kentang. Begitu pula yang terjadi di Papua Selatan, penanaman padi sawah yang sama sekali bukan makanan pokok masyarakat setempat. “Pertanyaanya, untuk siapa proyek ketahanan pangan ini?” Muadz Ardin mengakhiri sesinya.

Kedua narasumber mempersoalkan cara pandang negara tentang tanah dalam program ketahanan pangan. “Kita, akademisi ilmu tanah, tidak memandang tanah itu sebagai benda mati,” tutur Syamsul Arifin. Tanah adalah benda hidup yang sama dengan air, juga udara. Program ketahanan pangan yang menggenjot peningkatan produksi, tidak lagi memandang tanah sebagai benda hidup.

Bagi Muadz Ardin, kesalahan pemerintah adalah memandang tanah-tanah yang dijadikan areal food estate sebagai tanah kosong, tak bertuan. “Padahal di Indonesia ini, di setiap wilayah ada komunitas-komunitas lokal yang mendiami.”

Pada sesi tanggapan, salah seorang peserta menyoroti, apakah pelaksanaan program ketahanan pangan ini memang sebatas proyek saja? Dengan berbagai slogan yang hadir hanya untuk meninabobokan masyarakat. Mungkinkah ketahanan pangan ini dicapai, sementara kedaulatan kita tidak ada?

Menanggapi hal tersebut, Syamsul Arifin mengungkapkan bahwa Indonesia diklaim telah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Hal ini dicapai melalui proyek cetak sawah yang dilakukan sebanyak-banyaknya, dan penggunaan input kimia agar produksi terus meningkat. Akhirnya, booming produksi dianggap sebagai swasembada pangan, padahal itu tidak berkelanjutan. “Kalau kita pernah swasembada pangan, hari ini kita juga harusnya masih swasembada pangan. Begitu konsepnya.”

Sebagai pernyataan penutup, Syamsul Arifin dengan mengungkap, “Program ketahanan pangan pemerintah itu nonsense. Segala sesuatu yang ditarget, itu proyek, artinya tidak berkelanjutan.”

Muadz mengajukan kembali kasus di Sumatera Utara. Mereka adalah petani yang menanam kemenyan, tetapi melalui program food estate mereka dipaksa untuk menanam kentang, yang berakhir gagal. “Pada akhirnya, petani-petani di sana sebagaian besar adalah peminjam modal di bank, dan banyak dari mereka yang kehilangan tanah.”

Mempertajam analisisnya, Muadz Ardin menyampaikan data, 90 persen rumah tangga petani di Indonesia hanya menguasai 45,71 persen lahan pertanian. Menurut data BPS, petani gurem di Indonesia mencapai 62,05% dari total petani pengguna lahan. Dan sebagian besar adalah petani padi sawah, penyangga pangan nasional.

“Alih-alih mengedepankan proyek lumbung pangan semacam ini, mengapa pemerintah tidak mewujudkan reforma agraria?” Melalui reforma agraria, ketimpangan sosial dalam kepemilikan lahan dapat diretas untuk memberi akses kepada petani dalam memproduksi pangannya secara mandiri. (*/)

News Feed