Aliyah Mustika Ilham, Wakil Wali Kota Makassar, menyebut inisiatif ini sebagai upaya membangun ekosistem digital yang inklusif dan aman. “Digitalisasi bukan hanya mempermudah, tapi juga memberi rasa aman bagi pedagang kecil sekalipun,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BI Sulsel, Rizki Ernadi Wirnanda, menyampaikan narasi yang lebih besar: digitalisasi adalah keniscayaan. “Bangun tidur, kita langsung pegang ponsel. Masa bayar karcis pasar masih pakai uang receh?”
Rizki bahkan tak segan menyebut bahwa tempat makan tradisional seperti penjual pallu basa harus “dipaksa” menggunakan QRIS, seperti kewajiban penggunaan e-money di jalan tol.
“Kalau ingin belanja di pasar, ke depan harus pakai QRIS. Kalau tidak, ya keluar saja. Ini bukan menyulitkan, tapi mendorong perubahan,” ujarnya lantang.
BI mencatat, penggunaan QRIS di Sulsel telah mencapai Rp6 triliun dengan 1,3 juta pengguna. Sementara nasional, nilainya menyentuh Rp570 triliun dengan pertumbuhan 120% per tahun.
Antara Antusiasme dan Tantangan
Namun, seperti perubahan lainnya, jalan menuju adopsi menyeluruh tak akan mulus. Masih banyak pedagang yang belum terbiasa, pembeli yang tidak paham, atau area pasar yang minim sinyal dan fasilitas digital.
Munafri mengakui hal itu. Karena itu, ia tak ingin peluncuran ini sekadar seremoni lalu dilupakan. “Kita harus lihat langsung ke lapangan. Evaluasi, perbaiki, dan dorong terus,” tegasnya.
Pemkot Makassar akan menggelar kampanye masif dan memberi insentif bagi pasar atau terminal dengan tingkat penggunaan QRIS tertinggi. Harapannya, masyarakat tak hanya “kenal”, tapi benar-benar mengadopsi dan mengandalkan QRIS untuk transaksi sehari-hari.