English English Indonesian Indonesian
oleh

Teologi Pembebasan

Oleh Aswar Hasan

Teologi pembebasan merupakan respons teologis terhadap ketidakadilan sosial, penindasan, dan kemiskinan yang melanda masyarakat, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga. Gerakan ini lahir dari keyakinan bahwa agama, atau iman tidak boleh diam terhadap penindasan manusia. Ia harus berpihak pada kaum tertindas dan menjadi alat pembebasan mereka.

Teologi pembebasan pertama kali dikenal sebagai gerakan kritis terhadap ketimpangan dan berkembang di kalangan gereja Katolik Amerika Latin, khususnya sejak tahun 1960-an. Tokoh utama gerakan ini adalah Gustavo Gutiérrez yang menulis buku berjudul “A Theology of Liberation” (1971) menjadi teks fundamental yang mengusung gagasan bahwa “beriman berarti membebaskan,” dan terjadinya “kemiskinan adalah akibat dosa struktural.”

Teologi pembebasan di Amerika Latin menggabungkan ajaran Injil dengan analisis sosial berbasis Marxisme, khususnya dalam melihat adanya penindasan struktural. Namun, para tokohnya menolak ateisme atau pun kekerasan revolusioner.
Namun, gagasan teologi pembebasan tidak berhenti di dunia Kristen juga berkembang di negara-negara Muslim.

Teologi pembebasan dikembangkan dalam bingkai Islam, sebagai bentuk tanggapan terhadap penindasan yang dialami umat Muslim. Ali Shariati dari Iran, menerjemahkan semangat teologi pembebasan ke dalam Islam Syiah. Ia menekankan tauhid sebagai akar ideologi pembebasan. Kemudian memaknai hakikat dan tujuannya sebagai khalifatullah.
Dalam memaknai tauhid sebagai Khalifah manusia harus mentransformasikan diri dari Being menjadi Becoming. Makna “Being menjadi Becoming” menurut Dr. Ali Syariati adalah inti dari pemikiran pembebasan dalam pandangan humanistik tentang manusia, sejarah, dan tanggung jawab sosialnya.

Menurut Syariati, Being adalah ketaatan manusia secara ritual tetapi tidak peka terhadap ketidakadilan sosial. Sementara Becoming, adalah manusia bertindak karena kesadaran iman, menentang tirani, dan membela yang tertindas (mustadh’afin).

Makna “Being menjadi Becoming” menurut Dr. Ali Syariati adalah transformasi eksistensial dan spiritual manusia dari sekadar eksistensi pasif menjadi makhluk aktif yang sadar akan peran dan tanggung jawabnya dalam sejarah dan masyarakat. Inilah inti dari teologi pembebasan Islam yang diperjuangkannya. “Agama bukanlah candu, agama adalah kekuatan untuk berubah dan mengubah!” Kata Ali Syariati.
Sementara Sayyid Qutb dari Mesir yang menulis buku Ma’alim fi al-Tariq, Menyerukan pembebasan umat dari sistem jahiliyah modern. Ia melihat Islam sebagai satu-satunya sistem yang adil dan bebas dari penindasan.

Begitupun dengan Hasan Hanafi (1935–2021) yang menggagas proyek al-turats wa al-tajdid (warisan dan pembaruan), dan menekankan bahwa teologi harus bergeser dari teosentrisme menuju antroposentrisme. Artinya, teologi Islam harus berpihak kepada manusia dan berorientasi pada perubahan sosial.

Teologi pembebasan dalam Islam adalah sebuah pendekatan pemikiran keagamaan yang menekankan bahwa ajaran Islam tidak hanya bertujuan menyelamatkan manusia di akhirat, tetapi juga membebaskannya dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, eksploitasi, dan ketertindasan di dunia. Dalam perspektif ini, agama bukan hanya persoalan individual dan spiritual, tetapi juga merupakan kekuatan sosial dan politik yang berpihak kepada kaum mustadh’afin (yang tertindas).

Konsep ini berakar pada nilai-nilai dasar Islam seperti tauhid, ‘adl (keadilan), amar ma’ruf nahi munkar, dan ukhuwah insaniyah. Tauhid, misalnya, bukan hanya keimanan kepada satu Tuhan, tapi juga penolakan terhadap segala bentuk “ketuhanan” selain Allah, seperti penguasa tiran, sistem ekonomi eksploitatif, atau struktur sosial yang menindas.

Teologi pembebasan dalam Islam bukanlah gagasan baru, tetapi berakar kuat pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah. Misalnya: QS. Al-Qasas: 5 “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (mustadh’afin) dan komenjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”
Rasulullah SAW telah mencontohkan tentang misi profetik yang berpihak pada kaum tertindas. Membebaskan para budak, membela fakir miskin, dan melawan hegemoni elite Quraisy yang menindas rakyat kecil itulah praktik teologi pembebasan. Wallahu a’lam bisawwabe. (*)

News Feed