Oleh: Andi Faisal
Dosen Universitas Negeri Makassar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melambat, bahkan kini mencapai titik terendah sejak tahun 1970. Kondisi ini diungkapkan oleh Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia dalam agenda fit and proper test untuk Deputi Gubernur BI di Komisi XI DPR RI, Selasa, 1 Juli 2025.
Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah. Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa total stimulus pada semester I 2025 mencapai Rp57,4 triliun, yang terbagi dalam dua paket.
Paket pertama ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, sementara paket kedua difokuskan pada penguatan daya beli dan stabilisasi ekonomi. Namun, kenyataannya, kedua paket tersebut tidak berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Justru sebaliknya, ekonomi kian melambat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa dana stimulus sebesar itu tidak berdampak signifikan?
Kondisi ini sejatinya muncul karena kebijakan stimulus ekonomi hanya menyentuh permukaan masalah, tanpa menjangkau akar persoalan struktural. Jika ditelusuri, komposisi stimulus pada paket pertama sebagian besar dialokasikan untuk subsidi listrik, insentif PPN dan PPh UMKM, serta keringanan pajak kendaraan listrik. Seluruh skema ini lebih bersifat bantuan sosial yang konsumtif, bukan intervensi terhadap sektor-sektor produktif. Akibatnya, dampak stimulus hanya bersifat jangka pendek. Ia gagal menjadi daya ungkit (leverage) ekonomi dalam jangka menengah dan panjang.
Sementara itu, paket stimulus kedua didesain untuk menjaga daya beli, melalui diskon transportasi, subsidi upah, dan bantuan sembako. Namun sekali lagi, arah kebijakan ini hanya berfungsi sebagai efek trickle-down, bukan sebagai instrumen ekspansi ekonomi. Dampaknya, daya beli mungkin tetap terjaga di level tertentu, tetapi penciptaan sektor ekonomi baru dan perluasan lapangan kerja tidak terjadi. Efek “air menetes ke bawah” yang diharapkan dari stimulus semacam ini pun tidak muncul.
Dengan kondisi tersebut, kebijakan stimulus ekonomi sejatinya hanya mencegah ekonomi terjerembap lebih dalam, tetapi gagal membuatnya bangkit dan bertumbuh secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dari data BPS yang mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 hanya sebesar 4,8%, menurun dari 5,1% pada periode yang sama tahun sebelumnya (BPS Juli 2025).
Lebih dari itu, stimulus ini juga tidak berhasil menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor produktif. Sayangnya, anggaran sebesar itu justru berisiko “menguap” tanpa menghasilkan efek jangka panjang yang berarti. Kegagalan ini turut memicu keraguan investor untuk menanamkan modal atau membuka usaha baru, yang pada gilirannya dapat memperparah stagnasi ekonomi nasional.
Harus bagaimana?
Berdasarkan kondisi tersebut, stimulus fiskal semestinya diarahkan pada sasaran yang lebih tepat: penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan produktivitas sektor UMKM. Namun, lebih fundamental dari itu adalah perubahan pola pikir para pengelola negara. Stimulus tidak seharusnya diperlakukan sebagai program pragmatis tahunan, apalagi sekadar proyek yang diulang tanpa visi jangka panjang.
Sebaliknya, stimulus fiskal perlu diposisikan sebagai batu loncatan menuju transformasi ekonomi nasional. Untuk penyelamatan jangka pendek, penggunaan stimulus guna menjaga daya beli masyarakat memang dapat dibenarkan. Namun kebijakan tidak boleh berhenti di sana. Pemerintah perlu segera memiliki proyeksi stimulus jangka pendek (kurang dari lima tahun) yang berorientasi pada perbaikan mendasar: memperkuat kapasitas produksi nasional dan memperluas basis penciptaan kerja.
Pada akhirnya, stimulus ekonomi bukan sekadar soal angka triliunan rupiah, melainkan soal bagaimana negara ini merancang masa depannya. Jika terus dikelola secara pragmatis dan jangka pendek, kita hanya akan berputar dalam lingkaran krisis yang tak pernah benar-benar selesai. Pemerintah perlu melihat stimulus sebagai alat transformasi, bukan sekadar pengaman fiskal. Hanya dengan pola pikir semacam inilah, kita bisa keluar dari stagnasi dan membangun ekonomi yang benar-benar berdiri di atas kaki sendiri. (*)