Selain dari gejala fisik, faktor risiko juga menjadi pembeda penting antara keduanya. Serangan jantung lebih sering ditemukan pada pasien dengan riwayat merokok, hipertensi, diabetes, atau memiliki keluarga dengan penyakit jantung.
Sementara, GERD biasanya tidak memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor tersebut, tetapi lebih dipengaruhi oleh pola makan tidak teratur, stres, konsumsi makanan pedas atau berlemak, serta kebiasaan tidur setelah makan.
“Jadi, kalau pasien datang dengan nyeri dada, kita perlu melihat apakah dia memiliki faktor risiko jantung atau tidak. Itu bisa membantu membedakan apakah ini serangan jantung atau hanya asam lambung,” tambah dr Tasrim.
Namun, ia mengingatkan bahwa diagnosis pasti hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan medis menyeluruh. Oleh karena itu, ketika mengalami nyeri dada yang tidak biasa, sebaiknya pasien segera memeriksakan diri ke dokter atau unit gawat darurat terdekat.
“Jangan menunggu, apalagi jika nyerinya menjalar dan disertai sesak napas atau keringat dingin,” imbuhnya.
dr Tasrim juga menekankan jika tidak semua nyeri dada disebabkan oleh jantung, namun juga tidak boleh disepelekan karena keterlambatan penanganan pada serangan jantung bisa berakibat fatal.
Spesialis Penyakit Dalam RS Siloam Makassar, dr. Djunaidy Ruray, Sp.PD,L mengatakan untuk mencegah kekambuhan GERD, pasien disarankan untuk menerapkan pola makan sehat.
Perlunya menghindari konsumsi makanan dan minuman yang merangsang produksi asam lambung, serta tidak langsung berbaring setelah makan.