“Kami ingin film ini menjadi suara dan pelukan bagi para pejuang garis dua. Reaksi penonton di Makassar membuktikan betapa relevan dan emosionalnya cerita ini bagi banyak orang,” ungkapnya usai pemutaran.
Ia juga mengatakan bahwa kisah dalam Lyora juga sangat personal baginya. Ia pernah menjalani pernikahan selama lima tahun tanpa dikaruniai anak, hingga akhirnya memilih berpisah.
“Saya tahu rasanya. Tekanan itu nyata, dan butuh dukungan luar biasa dari pasangan, keluarga, dan lingkungan. Ketika film ini ditawarkan, saya seperti dihadapkan kembali pada fase hidup itu,” tuturnya.
Lebih jauh, Pritagita juga membagikan kisah masa lalunya sebagai anak dari ibu kandung yang melahirkannya di usia sangat muda.
“Saya tahu betapa mahalnya arti sebuah kelahiran. Jadi saya membuat film ini juga dari perspektif seorang anak. Bukan curhat, tapi mencoba menghargai perjuangan seorang ibu, siapapun dia,” ucapnya
Didukung oleh RS Bunda, Morula IVF, Garuda Indonesia, dan Livin’ by Mandiri, film ini diharapkan bisa membangun empati masyarakat terhadap isu infertilitas.
Salah seorang mantan pejuang garis dua sekaligus penyanyi, Chintya Lamusu mengatakan film tersebut, berbicara langsung kepadanya. Bahwa pernah menjalani masa-masa sulit seperti Meutya dalam cerita.
Ia mengungkapkan bahwa film ini mampu menjadi pengingat bahwa harapan akan selalu ada, selama usaha dan doa tidak pernah putus dilakukan.
“Saya rasa film ini bisa menjadi motivasi dan dorongan untuk para pejuang garis dua di Makassar untuk tetap berjuang dan berusaha,” ucapnya. (wis)