Agam bukan orang yang gemar menonjolkan diri. Lulusan Antropologi Universitas Hasanuddin ini lebih sering mendaki diam-diam, membersihkan jalur pendakian, dan mendidik para pendaki tentang pentingnya menghormati alam. Gunung Rinjani, katanya, bukan hanya tempat wisata. Ia adalah rumah yang harus dijaga, jiwa yang harus dihormati.
“Rinjani itu lengkap. Ada savananya, hutannya, vulcanonya, danau dan pasirnya. Tapi juga ada ruh,” ujar Agam, menyebutnya dengan penuh takzim. Ia tahu benar gunung itu tak hanya menyimpan panorama, tapi juga risiko dan misteri. “Makanya, setiap pendakian bukan hanya tentang menaklukkan, tapi tentang mendengar,” lanjutnya.
Dari kesaksiannya, diketahui bahwa hampir 70 persen pendaki yang datang ke Rinjani adalah warga asing. Mereka datang membawa harapan, mimpi, dan kadang luka. Tapi bagi Agam, siapa pun yang datang ke gunung, harus pulang dalam keadaan utuh atau setidaknya tak dibiarkan sendiri.
Kini, setelah pengakuan nasional itu, Agam tetap kembali ke jalur yang ia cintai. Ia enggan larut dalam sorak sorai. “Saya bukan siapa-siapa. Saya cuma orang yang kebetulan ada di tempat yang dibutuhkan,” ujarnya pelan.
Namun publik tahu, sosok seperti Agam tak hadir tiap hari. Ia bukan selebritas, bukan pejabat, bukan pula aktivis yang fasih bicara di seminar. Tapi ketika hidup diuji, Agam memilih bergerak. Diam-diam, tapi sampai ke dasar jiwa. Sebagaimana Rinjani yang berdiri tenang, namun tak pernah membiarkan manusia melupakan bahwa alam, pada akhirnya, adalah tentang kasih sayang.