Namun, di balik ikatan emosional itu, ada tugas profesional yang tak bisa diabaikan. Tim penilai dari berbagai instansi—mulai dari Dinas Pendidikan, Kesehatan, PKK, hingga Polda Sulsel—datang lengkap untuk menilai secara objektif berbagai aspek: kelembagaan, kewilayahan, pendidikan, ekonomi, hingga trantibmas.
“Kami datang bukan hanya untuk menilai, tapi juga memberi pembinaan. Tujuan akhirnya adalah membentuk kelurahan yang mandiri, tangguh, dan siap bersaing di tingkat nasional,” tegas Saleh.
Ketahanan dari Lorong, Bukan Sekadar Laporan
Tema besar yang diusung dalam lomba tahun ini adalah “Tangguh Pangan, Wujudkan Ketahanan Pangan Nasional Menuju Indonesia Maju.” Dan Pannampu menjawab itu tidak dengan narasi semata, tapi dengan praktik nyata: kebun lorong, bank sampah, kelompok ibu pengelola dapur sehat, dan posyandu mandiri.
Semua itu tidak dibangun dalam sehari. Menurut Lurah Pannampu, keberhasilan ini adalah hasil kerja kolektif warga selama bertahun-tahun. Kelurahan tidak hanya menjadi unit birokrasi, tapi pusat kehidupan sosial dan ekonomi warga.
“Kami manfaatkan setiap jengkal tanah untuk hal produktif. Masyarakat sadar bahwa lorong adalah ruang hidup yang bisa mandiri,” jelasnya.
Bukan Finish, Tapi Awal
Lomba ini bukan garis akhir. Justru, seperti yang dikatakan Munafri, proses ini adalah awal dari transformasi yang lebih besar.
“Kami akan terus dorong inovasi kelurahan lewat kompetisi sehat dan penghargaan. Kami ingin setiap kelurahan punya standar pelayanan yang tinggi, berbasis pada kebutuhan riil masyarakat,” ungkapnya.