FAJAR, JAKARTA — Hari Anak Nasional 2025 kembali menjadi pengingat yang sunyi: banyak anak Indonesia belum benar-benar merdeka dari rasa takut.
Bayangkan, satu dari dua anak Indonesia usia 13 hingga 17 tahun pernah mengalami kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual. Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada wajah-wajah kecil yang menyimpan trauma, luka yang tak kasatmata, dan harapan yang perlahan meredup di dalam rumah mereka sendiri.
Padahal, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seorang anak. Tempat pulang, bukan pelarian. Tapi data justru berkata sebaliknya.
Per Juli 2025, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) mencatat 15.615 kasus kekerasan, di mana 6.999 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual. Dan yang menyakitkan: mayoritas terjadi di lingkungan rumah tangga. Tempat tidur yang mestinya nyaman, ruang keluarga yang mestinya hangat, justru menjadi saksi bisu dari kekerasan yang menghancurkan masa kecil.
Kekerasan yang dialami anak dan remaja hari ini tak lagi mengenal batas ruang. Ia menjalar, menyesuaikan zaman. Di dunia digital, anak-anak terperangkap dalam bentuk-bentuk baru eksploitasi: dipaksa mengirim gambar tak pantas, jadi objek tontonan seksual, bahkan dinormalisasi melalui budaya daring yang permisif. Pemaksaan hubungan seksual, sentuhan yang tak diinginkan, hingga perkawinan anak kini terjadi secara langsung maupun virtual.
“Ketika rumah tidak lagi menjadi tempat aman bagi anak, maka ada yang salah dalam sistem perlindungan kita,” tegas Dessy Kurwiany Ukar, CEO Save the Children Indonesia. “Sudah saatnya semua pihak, tanpa kecuali, bertindak bersama memastikan anak-anak terlindungi. Negara harus hadir, keluarga harus sadar, sekolah harus peduli, dan masyarakat harus ikut menjaga. Anak-anak Indonesia berhak tumbuh tanpa rasa takut,” lanjutnya.