Secara prinsip, mekanisme self-reguatory bertentangan dengan prinsip dasar dalam UU anti monopoli dan persaingan usaha yang sehat mengenai pentingnya pemisahan peran sebagai regulator dengan peran sebagai pelaku usaha.
Jalan keluarnya adalah memberikan efek jera kepada pelaku usaha dengan cara menarik kembali keuntungan tidak normal yang diperoleh dari praktik persekongkolan dalam penetapan suku bunga pinjaman harian sebesar 0,8 persen.
Mekanismenya dilakukan dengan menetapkan denda pelanggaran pasal 5, ayat 1, UU Nomor 5 Tahun 1999 setinggi-tingginya sebesar 10 persen dari total nilai penjualan selama periode pelanggaran atau 50 persen dari keuntungan bersih masing-masing perusahaan.
Hal ini belum cukup, harus diikuti oleh pengawasan OJK yang kuat melalui regulasi yang ketat, khususnya yang berkaitan dengan transparansi suku bunga pinjaman mengingat industri fintech lending adalah industri yang terkonsentrasi tinggi.
Dalam rangka menghindari terjadinya persekongkolan, OJK dapat melarang praktik kepemilikan silang dan jabatan rangkap yang menyebabkan terjadinya penguasaan pasar dalam industri fintech lending.
Pengawasan OJK yang kuat menjadi kata kunci mendorong persaingan dalam industri fintech lending mengingat saat ini, pelaku usaha cenderung bersekongkol menetapkan suku bunga tinggi yang tercermin pada kesepakatan suku bunga pinjaman harian yang sama dengan batas atas suku bunga pinjaman yang ditetapkan oleh AFPI.
Idealmya, persaingan antar pelaku usaha fintech lending terjadi dengan cara perang suku bunga pinjaman. Dimana masing-masing pelaku usaha berlomba-lomba menetapkan suku bunga rendah untuk meningkatkan penguasaan pasar dalam industri fintech lending nasional. (*)