Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf
(Ketua KPPU RI 2015 – 2018/ Chairman ASEAN Competition Institute – ACI)
MAKASSAR, FAJAR – Industri jasa keuangan nasional, khususnya pinjaman online (pinjol) terkonsentrasi hanya pada beberapa pemain besar dengan 50 persen pangsa pasar.
Jika memperhitungkan adanya cross ownership dan integrasi vertikal dengan platform e-commerce maka tingkat konsentrasi bisa semakin tinggi yang membuat pelaku usaha fintech lending dengan mudah mengendalikan harga.
Hal ini sejalan dengan perkara dugaan kartel fintech lending yang sedang diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI). Kartel fintech lending diduga dilakukan oleh 97 pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dugaan kartel fintech lending bermula dari rapat yang difasilitasi oleh AFPI yang dihadiri oleh 97 perusahaan fintech lending. Pada rapat tersebut disepakati batas atas suku bunga pinjaman harian sebesar 0,8 persen.
Dimana, 97 perusahaan fintech lending yang tergabung dalam AFPI diduga bersepakat menetapkan suku bunga fintech lending harian sebesar 0,8 persen sesuai batas atas pinjaman yang ditetapkan oleh AFPI selama periode 2020 – 2023.
Hasil kesepakatan oleh 97 perusahaan fintech lending dijalankan sepenuhnya oleh mayoritas penandatangan (anggota asosiasi) yang secara agregat mencapai penguasaan dominan di pasar. Pelaksanaan kesekapatan (kartel) semakin efektif jika terdapat sanksi dari AFPI atau lembaga kartelnya kepada anggota yang tidak mengikuti kesepakatan.