Oleh: Ardisa, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNM
Pembahasan mengenai kehidupan tidak terlepas dari mahluk berakal di dalamnya yaitu manusia. Sebuah eksistensi kehidupan yang dijalani setiap manusia memiliki tujuan masing-masing, berada pada jalur kebebasan atau jalur kebenaran yang saling bersinggungan? Nah, bagaimana pemikiran filsafat Jean-Paul Sartre mempengaruhi hal tersebut.
Jean-Paul Sartre merupakan sosok sentral dalam pertemuan antara filsafat dan sastra di abad kedua puluh. Ide-idenya menyoroti pentingnya kebebasan, tanggung jawab etis, dan pembentukan makna hidup melalui langkah-langkah yang diambil sendiri. Ia memberikan dampak yang signifikan terhadap eksistensialisme, teori kritis, dunia sastra, dan pemikiran politik.
Eksistensi manusia selalu berhadapan dengan dimensi yang melampaui rasionalitas. Eksistensi bukan kondisi yang stagnan, melainkan ruang di mana kita terus-menerus mencipta nilai dan memilih skenario hidup. Dari perspektif eksistensialisme, seperti pada pemikiran Sartre, manusia “existence precedes essence”: keberadaan mendahului esensi. Artinya, kita tidak memiliki esensi yang mapan—kebenaran objektif tentang siapa kita—sebelum kita hidup dan bertindak.
Jean-Paul Sartre: “Manusia dikutuk untuk bebas” – kita diberikan kebebasan tanpa batas dalam menentukan pilihan dan bertindak, namun juga menanggung tanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dari tindakan serta ukuran nilai kita sendiri.
Menghindari kebebasan (bad faith) sesungguhnya adalah suatu bentuk penyangkalan terhadap esensi eksistensial kita. Kebebasan tanpa landasan kebenaran dapat berubah menjadi relativisme moral atau kehilangan arah. Di sisi lain, pencarian kebenaran yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan kebebasan individu dapat menyebabkan dogmatisme, yang menyingkirkan keaslian. Maka nilai dari kehadiran manusia di dunia ditentukan oleh pandangan dirinya terhadap kualitas diri sendiri, bukan orang terdekat atau orang lain yang menentukan sisi pilihan dari kehidupan yang rotasinya berputar tanpa kita tahu arahnya.