FAJAR, BANYUWANGI – Di sudut Desa Lemahbangkulon, Kecamatan Singojuruh, sepasang sandal bayi tersusun rapi di sudut kamar. Di atasnya tergantung baju hamil berwarna lembut. Tak satu pun telah terpakai. Sebab mereka yang hendak mengisinya—Bintang Nur Hidayat (28) dan Nindy Elly Rosita Zulpri (22)—belum juga pulang.
Pasangan muda itu adalah dua dari 16 penumpang yang masih dinyatakan hilang dalam tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, yang karam di perairan Selat Bali pada 3 Juli 2025.
Malam sebelum keberangkatan, Elly yang sedang mengandung lima bulan bersikeras ikut. Ia tak ingin berjauhan dengan suaminya, Bintang, yang bekerja sebagai sopir truk sembako dengan rute tetap ke Bali.
“Namanya juga pengantin baru,” ucap Ema Novitasari, kerabat dekat mereka. “Dia bilang: Saya cuma ingin mendampingi suami, Mak.”
Tak ada firasat buruk. Bintang bahkan sempat berjanji akan menyambut anak pertama mereka dengan penuh bahagia, sepulang dari pelayaran itu.
Namun dunia mereka runtuh pukul 03.00 dini hari. Seseorang mengetuk jendela rumah Ema. “Kapal tenggelam. Bintang dan Elly belum ditemukan.”
Bergegas, Ema dan suaminya meluncur ke Pelabuhan Ketapang. Tak ada bekal, hanya sehelai harap dan kabar samar. Hari berganti, pencarian dilakukan, tapi pasangan itu tak juga muncul.
“Kalau boleh meminta, kami tak ingin mereka pulang dengan utuh. Tapi setidaknya… cukup untuk bisa dimakamkan,” tutur Ema dengan suara yang patah.
Operasi pencarian resmi dihentikan pada 21 Juli 2025. Dari 65 penumpang, sebanyak 30 selamat, 19 meninggal dunia, dan 16 masih hilang—termasuk Bintang, Elly, dan bayi dalam kandungannya.