FAJAR, GARUT — Pagi itu, langit di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, tampak biasa saja. Tak ada yang istimewa. Jalan-jalan sempit yang menuju sekolah dipenuhi anak-anak berseragam rapi, sebagian masih setengah mengantuk, sebagian lagi tampak semangat dengan baju baru dan cerita liburan. Tapi di sebuah rumah sederhana di sudut kampung, seorang anak lelaki tak lagi bangun dari tidurnya. P, 16 tahun, ditemukan tak bernyawa. Ia mengakhiri hidupnya tepat di hari pertama masuk sekolah.
Tak ada surat perpisahan. Tapi dari cerita yang perlahan terkuak, kematian itu bukan datang tanpa sebab. Ia menyimpan luka yang terlalu lama dibiarkan sendiri: perundungan yang membekas di tubuh dan jiwanya. Sejak awal Juni 2025, menurut penuturan keluarga, P mengalami tekanan berat. Cemooh, pukulan, hingga isolasi sosial dari teman-temannya. Semua itu membentuk pusaran gelap yang akhirnya menelannya.
Kematian P langsung mengguncang publik. Ketua DPR RI, Puan Maharani, tak tinggal diam. “Ini bukan sekadar tragedi tunggal. Ini cermin kerusakan sistemik,” ujarnya, Selasa (22/7). Dalam pernyataannya, Puan menegaskan bahwa tragedi seperti ini tak boleh lagi menjadi kabar biasa yang kita telan tiap tahun.
Cermin Retak Sekolah-Sekolah Kita
Dalam diam, sekolah-sekolah kita telah lama menyimpan bara yang tak terlihat. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, sepanjang 2024 terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, melonjak hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Di balik angka-angka itu ada nama-nama seperti P, yang tak sempat bersuara.