Menurut Puan, sistem deteksi dan intervensi dini terhadap kekerasan masih rapuh. “Tidak cukup hanya guru BK. Kita butuh profesional psikologis yang paham dunia remaja yang kompleks dan mudah rapuh,” kata dia. Di banyak sekolah, konselor sering kali hanyalah guru mata pelajaran yang mendapat jam tambaha, tanpa pelatihan psikologis yang memadai.
Tak hanya itu, budaya sekolah yang permisif terhadap bullying , dengan alasan ‘kenakalan anak muda’ menjadikan korban harus menanggung luka dalam diam, sementara pelaku sering kali hanya mendapat teguran lisan, atau tak digubris sama sekali.
Perlu Jalan Baru: Satgas PARS dan Reformasi Struktural
Maka Puan mendorong lahirnya kebijakan baru: pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS). Lembaga ini, kata dia, harus menjadi ujung tombak pelindung siswa dengan pendekatan lintas sektor melibatkan psikolog, tokoh masyarakat, serta dinas pendidikan dan perlindungan anak.
“Satgas ini harus hadir di zona rawan, melakukan inspeksi berkala dan memberikan pendampingan psikologis,” jelasnya.
Tak cukup sampai di situ. Ia mendesak pelatihan berkala untuk guru dan tenaga kependidikan agar bisa mengenali gejala depresi, tekanan sosial, dan perilaku menyimpang sebelum semuanya terlambat.
“Kita tidak bisa menormalisasi bullying. Setiap tindakan kekerasan sekecil apa pun harus ditangani dengan serius dan sistematis. Karena setiap anak berhak pulang dengan selamat dari sekolahnya,” katanya.
Penonaktifan dan Pertanggungjawaban