FAJAR, MAKASSAR — Kebakaran KM Barcelona V menambah daftar panjang tragedi laut Indonesia. Sementara protokol keselamatan dan pengawasan seperti tak belajar dari luka-luka sebelumnya.
Kementerian Perhubungan mencatat, dari 280 penumpang yang terdaftar dalam manifest, lebih dari dua kali lipat ditemukan di kapal: total 571 orang dievakuasi. Tiga orang ditemukan tewas. Tidak semua beruntung bisa keluar hidup-hidup.
Tragedi Barcelona V menyusul tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali, yang baru terjadi beberapa minggu sebelumnya. Di mata publik, ini bukan lagi kecelakaan tunggal. Ini adalah rangkaian tragedi yang seperti dibiarkan berulang. Tidak heran bila Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaiful Huda, angkat suara.
“Kami sangat prihatin. Ada yang salah dalam sistem keselamatan pelayaran kita,” ujar Huda dalam pernyataan pers, Senin, 21 Juli.
Huda menyoroti tiga hal: kelalaian manusia, standar operasional yang buruk, dan pengawasan yang minim. Menurutnya, 90 persen kecelakaan kapal di Indonesia dipicu human error: kelebihan muatan, stabilitas kapal yang diabaikan, dan pemeliharaan mesin yang tak dilakukan.
“Artinya, jika pengawasan dilakukan secara ketat dan konsisten, potensi kecelakaan bisa ditekan,” ujarnya.
Kecelakaan laut bukan cerita baru di negeri kepulauan ini. Sejak 2018 hingga 2024, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) mencatat lebih dari 430 insiden pelayaran yang menewaskan sedikitnya 1.200 jiwa. Sebagian besar terjadi di kapal penumpang antarpulau, moda transportasi utama bagi jutaan warga Indonesia yang hidup di wilayah kepulauan seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua.