“Kalau aplikasi sehat, driver pun ikut aman. Jangan hanya lihat dari angka potongan saja. Tanpa insentif dan promo, order bisa sepi. Itu yang justru bisa menghancurkan penghasilan kami,” tegas Yohanes.
Ketua komunitas Grab Gowa Community, Nurmila Burhan menambahkan bahwa aplikasi transportasi online selama ini tidak hanya membantu para driver, tetapi juga menjadi tulang punggung logistik dan distribusi untuk pelaku usaha mikro dan kecil.
Ia menyebut, keputusan yang gegabah bisa berakibat pada terputusnya mata rantai ekonomi yang sudah terbentuk.
“Aplikator bukan cuma soal driver, tapi juga ribuan pelaku UMKM yang bergantung pada platform. Jangan gegabah ambil keputusan hanya karena tekanan pihak-pihak yang tidak tahu kondisi lapangan,” tegasnya.
Senada dengan itu, Arif Budianto dari Grab Hero Community menilai bahwa skema 20 persen tidak memberatkan jika aplikator tetap berkomitmen memberikan layanan dan benefit yang mendukung.
Menurutnya, potongan itu justru menjadi bagian dari sistem yang memungkinkan perusahaan memberikan perlindungan, promosi, dan pelatihan bagi mitra.
“Kami tidak keberatan selama ada timbal balik yang jelas dan menguntungkan. Kalau aplikator ditekan dan rugi, yang paling duluan kena dampaknya pasti kami, driver di jalan,” katanya.
Ketua Komunitas Sapu Rata Kota Desa, Sultan, mengingatkan bahwa suara dari mitra aktif yang benar-benar bekerja di lapangan harus menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan.
Ia menyayangkan narasi publik yang kerap didorong oleh pihak yang sudah tidak lagi aktif sebagai driver.