Oleh M. Nawir
Sosialurbanis, Alumni FIB Unhas
Tulisan ini merupakan pemaknaan penulis terhadap informalitas kehidupan sehari-hari orang kampung kota. Apa dan siapakah orang kampung kota? Bagaimana mereka bersiasat? Dengan pendekatan urban cultural studies, kehidupan orang kampung dapat dijelaskan dari sisi sejarah, pelembagaan identitas, dan gerakan subalternasi mereka dalam ruang kota.
Para pengkaji kajian budaya kontemporer menolak asumsi debat budaya tinggi-rendah, unggul-tidak unggul. Mereka melegitimasi semua aspek budaya populer sebagai sesuatu yang bermakna, bukan fenomena bayangan (Meenakhsi, 2006: xxiv). Mereka mengarahkan kajian budaya pada transformasi sosial, yakni suatu aktivisme produksi dan reproduksi makna untuk mengungkap berbagai siasat komunitas dalam mengendalikan ruang sosial.
Sebutan kampung kota lazim digunakan dalam aktivitas pengorganisasian komunitas dan perencanaan ruang perkotaan. istilah ini mengandung konsep sejarah pembentukan ruang beserta praktik budaya sehari-hari orang-orang di dalamnya. Mereka adalah warga kota, yang menjadikan kampung sebagai identitas kolektif, tempat bermukim – karena itu entitas mereka historis-kultural, politis. Ciri kampung kota, antara lain: suatu pemukiman tradisional/informal (Rapoport, 1969; Turner, 1976); kawasan hunian masyarakat berpenghasilan rendah dengan kondisi fisik kurang baik (Budiharjo, 1992); urban villages (Tait, 2003); slums and squatter (UN Habitat, 2003); kota kampung (Seiawan, 2010); urban kampong (Colombijn, dkk. 2010); camp and compound (Simone, 2010); perumahan swadaya (Perpres 191/2024).
Secara sosio-historis, pembentukan kampung merupakan dampak dari intensifikasi pembangunan wilayah perkotaan, yang menyerap kelompok pendatang (migran) terutama dari perdesaan. Ada kampung yang menjadi pemukiman bersama warga tetapi bukan bagian dari perencanaan infrastruktur kota (Colombijn, 2010; Jellinek, 1991). Sebagai ilustrasi, penyebutan nama Jumpandang (1970-an) merepresentasi riwayat kaum migran pribumi perdesaan ke kota Makassar. Mereka adalah migran gelombang kedua yang terimbas konflik politik (1950-an) dan operasi militer (1960-an), terutama pendatang dari tanah Bugis, Mandar, Toraja mencapai 30-40 persen dari total penduduk kota masa itu (Dias, 2003:87-88). Mereka memproduksi ruang sosial kampung kota, di luar site-plan pemukiman kolonial.
Boleh dibilang kampung adalah pondasi dari bangunan kota. Semacam ‘kolase mini’, kampung melembagakan prinsip keberagaman, toleransi, kesetiakawanan (Surmardi, 2015). Mereka menjalin kerukunan sambil merawat kebiasaan masing-masing secara organik. Semisal, orang Mandar dan Pangkep berbaur dengan pendatang lainnya di pesisir kota seperti Lette, Buloa. Mereka tetap membawa kebiasaan melaut. Orang Jeneponto dan Takalar berbaur di Bontoduri dengan tetap merayakan tradisi maulidan. Begitupun orang Jawa di Sambung Jawa dikenal dengan tradisi pembuatan tahu – juga orang Toraja di kampung Rama dengan ciri arsitektur tongkonannya.
Kampung kota menjadi arena siasat budaya orang-orang pinggiran. Siasat dalam artian penggunaan taktik sehari-hari untuk survive (sintas). Hafidz (2002) memaknai siasat ini adalah strategi menegosiasikan “informalitas sebagai cara hidup”. Semisal, mereka memanfaatkan sistem kekerabatan, relasi patron-klien dan kedekatan dengan aparat sebagai peluang agar dapat bermukim atau pun berjualan setiap hari di trotoar jalan, dan tempat umum lainnya.
Supeli (2013) merevitalisasi makna siasat budaya sehari-hari itu sepadan dengan strategi pemajuan kebudayaan. Ia berpendapat bahwa “kebudayaan adalah siasat” untuk membangun kritik terhadap kebiasaan publik, termasuk “mengubah konsep ekonomi dari urusan pasar dan jual beli uang ke urusan mata pencaharian warga biasa.” Budianta (2020) mengartikulasikan siasat budaya itu dalam “Lumbung Budaya di Sepanjang Gang”. Melalui praktik commoning (Ostrom, 1990), yakni pengorganisasian dan penguatan solidaritas warga menghadapi ekspansi kapital, mereka menghidupkan praktik budaya sehari-hari seperti tradisi jempitan, sekolah alam, urban farming, ritual, dan gotong royong menata pemukiman.
Kampung kota sebagai ruang kontestasi sosial merupakan ranah keempat dari perkembangan ruang kota (urban space), bukan sebatas proyek infrastruktur, produksi, dan konsumsi (Gottdiener, 1994:123; Lefebvre, 1979:287). Di dalam ranah kontestasi itu orang-orang kampung dan para aktor (agency) menegosiasikan, dan mengadaptasi struktur ruang juga turut mengubahnya (Dias, 2004: 254). Contoh warga yang bermukim di atas tanah ‘tak bertuan’ maupun tanah negara melakukan klaim sepihak berdasarkan riwayat penguasaannya, juga melakukan penataan secara swadaya, bahkan memproduksi wacana dan desain tandingan. Bukan semata nilai komersial dari tanah di pusat kota atau pun sebagai upaya pemertahanan identitas, lebih dari itu adalah penegasan (proclaim) bahwa mereka adalah bagian yang melekat dalam riwayat pembentukan ekosistem perkotaan.
Visi Kota Dunia, Water Front City, Smart City, Megapolitan adalah jargon proyek gentrifikasi dan aglomerasi kota masa depan. Persoalannya, visi ini senjang dengan kepentingan warga. Kesenjangan wacana ini menurut Kusno (2000) dalam Bradley (2003:181-186) berawal dari pendefinisian sepihak oleh elit kapital dibantu perencana dengan terlebih dahulu memosisikan orang kampung sebagai penghambat modernitas. Contoh, pengembangan kawasan Tanjung Bunga (1996-1997) dan New Port Buloa (2015-2018) mengubah bentang alam pesisir kota, tetapi tidak berimbas pada peningkatan status kekumuhan warga setempat. Malahan memicu sengketa pertanahan; selain berisiko kehilangan properti, warga kampung kota kehilangan pengakuan dan agensi dalam wacana publik (Harvey, 2003; Butler & Athanasiou, 2013).
Dalam perkembangannya, bermunculan gerakan subalternasi dari kalangan intelektual dalam kontestasi kampung kota. Mereka merepresentasi sekaligus mere-present suara kelas subaltern (Spivak, 1988) untuk menguatkan siasat budaya orang kampung. Sejauh yang tercatat, mereka memproduksi dan mewacanakan budaya tanding, antara lain: (a) Resistensi terhadap penggusuran paksa (puisi), “Rakyat yang digusur akan menjadi api dalam setiap nasi yang mereka makan”; film pendek “Perang Kota”; (b) Kontra-wacana (buku), “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri”; (c) Negosiasi “Penggusuran No, Penataan Yes”; “Jangan Gusur, Geser Saja”; (d) Solusi alternatif penggusuran (counter-draft), “berbagi lahan, berbagi kehidupan” (land-sharing, uprading).
Representasi media dan wacana seperti di atas merupakan strategi dan taktik ‘budaya perlawanan’ atau counter-culture (Jenks, 2005) oleh varian budaya (sub-culture) setempat; ‘kontra hegemoni’ (Gramsci, 1934) terhadap narasi dominan yang mendefinisikan secara sepihak kampung kota sebagai pemukiman liar, kumuh, kantong kemiskinan, sumber kriminalitas – yang sesungguhnya sebutan itu merupakan repesentasi wacana politik ruang seperti pada kebijakan “penertiban”, “peremajaan”, “penataan”, “ruang terbuka hijau”, “demi kepentingan umum”, “city without slum”, dan semacamnya.
Satu langkah maju pada dekade tahun 2000-an dengan kemunculan gerakan alternasi dari intelektual-aktivis, praktisi (arsitek-perencana dan pengacara probono), termasuk pegiat budaya yang berkolaborasi mengajukan konsep tanding penataan kampung swadaya. Dalam pemikiran Gramscian, agen-agen ini digolongkan sebagai intelektual organik, yaitu para profesional yang mengartikulasikan ide maupun aspirasi suatu komunitas secara organik, sehingga melampaui profesinya sendiri (profesio = ‘mengabdi pada orang banyak’). Seorang intelektual (Kleden, 2020:12) tidak menjadikan informasi dan pengetahuan adalah tujuannya, melainkan sarana, media, fasilitas untuk membela urusan publik dengan mentransformasikan pengetahuan itu menjadi nilai, komitmen politik atau pun sikap moral publik.
Beberapa skema mereka negosiasikan dengan pemerintah maupun pengembang antara lain; penataan pemukiman warga: Kali Code Yogyakarta (Romo Mangun, 1984); Stren Kali Surabaya (UPC, 2002); Bungkutoko Kendari (UPC-Germis, 2012); Kali Jawi Yogyakarta (Arkom-Paguyuban Kali Jawi, 2012); Kampung Pisang Makassar (UPC-KPRM-Arkom, 2015); Kampung Susun Akuarium Jakarta (Rujak-JRMK-UPC, 2023); dan tren belakangan ini model Rumah Flat swadaya di Menteng bagi kelas menengah perkotaan (Koperasi Perumahan).
Pada praktiknya, siasat orang-orang kampung kota itu merupakan taktik dan strategi pemertahanan budaya dan ruang hidup agar sintas. (*)