“Kehancuran sebuah bangsa dimulai ketika keadilan digusur oleh keserakahan.”
Indonesia dibangun di atas semangat persatuan dan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun, hari ini keadilan itu tak lebih dari slogan. Di balik gemuruh pembangunan, tersembunyi kenyataan getir: pusat menjarah, daerah menjerit.Dari tambang nikel di Sulawesi, emas di Papua, hingga batu bara di Kalimantan, terlihat pola seragam: daerah menggali, pusat mengangkangi.
Regulasi perizinan dan penguasaan sumber daya alam kini sepenuhnya dimonopoli elite pusat. Pemerintah daerah tak ubahnya pelayan administratif, bukan pemilik kedaulatan. Rakyat lokal menjadi buruh tambang di tanahnya sendiri. Ketika mereka menuntut hak, aparat dari pusat justru datang mengamankan korporasi.Perlawanan lokal bukan pengkhianatan terhadap bangsa, tetapi jeritan nurani yang menolak dijadikan sapi perah.
Ini adalah panggilan untuk menegakkan kembali keadilan autentik, demi kejayaan nasional yang tak timpang.
Hegemoni Pusat
Penguasaan atas tanah dan sumber daya di daerah oleh segelintir elite pusat adalah bentuk kolonialisme gaya baru.
Data Kementerian ESDM 2023 mencatat lebih dari 6.000 IUP (Izin Usaha Pertambangan) aktif di seluruh Indonesia. Sebagian besar dikendalikan oleh perusahaan yang berafiliasi dengan penguasa pusat dan elite politik nasional. Kantor mereka ada di Jakarta, tetapi kerusakan dan penderitaan tertinggal di pelosok-pelosok negeri.
Di Sulawesi, industri nikel seharusnya membawa kemakmuran. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: konflik lahan, pencemaran lingkungan, relokasi paksa, dan tergusurnya hak-hak masyarakat adat. Pendapatan Asli Daerah tak sebanding dengan kerusakan ekologis dan sosial yang ditinggalkan.
Kita harus bertanya: apa bedanya ini dengan zaman VOC? Dahulu, Belanda mengambil rempah dan meninggalkan luka. Kini, pusat mengambil nikel, emas, dan batu bara—dan rakyat lokal tetap tak punya suara.
Keadilan Konstitusi
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun kata “negara” telah disempitkan maknanya menjadi “pusat”. Maka keadilan yang dijanjikan konstitusi berubah menjadi kedok untuk eksploitasi.
Tafsir autentik keadilan seharusnya bermakna:
1. Kedaulatan rakyat lokal atas tanah dan airnya;
2. Distribusi hasil kekayaan secara adil dan proporsional;
3. Pelibatan aktif daerah sebagai subjek pembangunan, bukan objek eksploitasi.
Yang terjadi justru sebaliknya. Negara berubah menjadi calo atas nama investasi. Suara rakyat lokal dibungkam dengan stigma anti-nasional. Ketika masyarakat ingin mempertahankan hutan dan laut mereka, negara datang dengan alat berat dan aparat.
Di sinilah letak pengkhianatan struktural: pembangunan nasional dijadikan tameng bagi korporatisme pusat, sementara nilai-nilai Pancasila dan keadilan sosial dikubur di lubang tambang.
Kebangkitan Lokal
Perlawanan lokal tak bisa lagi dianggap sebagai ancaman. Dia justru menjadi koreksi moral atas model pembangunan yang timpang. Di berbagai wilayah, gerakan rakyat tumbuh sebagai bentuk perlawanan konstitusional dan produktif:
Di Sulawesi Tenggara, koperasi tambang rakyat melawan dominasi perusahaan besar. Di Kalimantan, komunitas adat mempertahankan tanah ulayat dari invasi sawit. Di Nusa Tenggara, desa mandiri energi membuktikan bahwa ketahanan tidak harus datang dari pusat.
Mereka tidak menuntut berpisah dari republik. Mereka menuntut republik yang adil. Mereka ingin kembali ke semangat awal pendirian bangsa: bahwa kekayaan negeri ini adalah milik seluruh rakyat, bukan hanya milik mereka yang berkantor di Senayan atau SCBD.
Inilah bentuk revolusi etis—melawan bukan untuk merusak, tetapi untuk menyelamatkan. Bila suara rakyat daerah terus dibungkam dan sumber daya terus dikeruk tanpa keadilan, kehancuran republik tinggal menunggu waktu.
Daerah Terluka
Kita tidak sedang bicara tentang separatisme. Kita sedang membicarakan kesetaraan. Perlawanan lokal adalah upaya untuk mengembalikan Indonesia ke jalur sejarahnya: negeri yang dibangun bukan atas nama kekuasaan segelintir elite, tetapi atas dasar keadilan untuk seluruh rakyat.
Negara ini hanya akan jaya bila pusat dan daerah berdiri sejajar, saling menopang, dan berbagi hasil dengan adil. Jika tidak, maka nama Indonesia akan terus tercantum di peta, tetapi jiwanya telah lama hilang ditelan kerakusan pusat. (*)
*Tajuddin Noer, aktivis Tahun 1990-an dan pemerhati kebijakan publik.