English English Indonesian Indonesian
oleh

Pertumbuhan Lokal untuk Keadilan dan Kejayaan Indonesia Emas 2045

Oleh: TAJUDDIN NOER*

Kehancuran sebuah bangsa dimulai ketika keadilan digusur oleh keserakahan.

Kalimat ini bukan sekadar retorika, melainkan cermin nyata dari relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah. Ketika elite pusat menguasai hampir seluruh Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Sulawesi Tenggara, Papua, dan Kalimantan, yang terjadi bukanlah pembangunan—melainkan kolonialisme dalam wajah baru.

Daerah hanya menjadi “kuli kekayaan nasional”, tanpa suara yang setara dalam distribusi hasilnya. Riset Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menunjukkan, proporsi Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tambang dan perkebunan tak pernah mencerminkan nilai ekstraksi yang terjadi di daerah.

Wilayah yang rusak lingkungannya, tergilas adatnya, dan koyak sosialnya, hanya menerima remah dari hasil tambang, setelah dipangkas habis oleh sistem perpajakan terpusat. Dalam situasi inilah, “Misi Perlawanan Lokal” menemukan momentumnya. Ini bukan sekadar penolakan administratif terhadap kebijakan pusat, tetapi perjuangan ideologis dan konstitusional.

Perjuangan untuk mengembalikan makna keadilan dalam pembangunan nasional, sebagaimana semangat Pasal 33 UUD 1945: bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—bukan kemewahan elite.

Eksploitasi Timpang

Menurut Prof. Dr. Syahruddin Naim (2023), dominasi pusat dalam perizinan dan pengelolaan sumber daya telah menciptakan relasi eksploitasi yang timpang. “Keadilan tidak cukup diukur dari distribusi anggaran, tetapi dari siapa yang berhak menentukan arah pembangunan,” tegasnya dalam seminar nasional di Universitas Halu Oleo, Kendari.

Lebih dari 65% investasi tambang dan perkebunan dikuasai oleh perusahaan yang berafiliasi dengan elite Jakarta, menurut data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Jakarta menjadi episentrum kapitalisme ekstraktif, sementara daerah diposisikan sebagai lumbung yang terus digerus, tanpa proteksi sosial maupun kultural.

Ironisnya, sebagian elite lokal justru berperan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan pusat. Bukan menjadi pelindung hak-hak rakyat, melainkan broker yang menjual tanah dan masa depan warganya sendiri. Dalam skenario seperti ini, perjuangan lokal bukan saja penting—melainkan mendesak. Harus ada rekonstruksi relasi kekuasaan, bukan sekadar redistribusi ekonomi.

Tokoh lokal seperti Ir. La Ode Muh. Farihin (Ketua Forum Daerah Tambang Berkelanjutan) menyebut bahwa kebangkitan lokal adalah prasyarat kejayaan Indonesia. “Jangan bicara Indonesia Emas kalau emasnya sendiri tidak dinikmati oleh rakyat di sekitar tambang,” ujarnya dalam forum publik di Kendari tahun 2024.

Perlawanan lokal bukan bentuk separatisme. Justru ini adalah bentuk paling autentik dari nasionalisme—karena berakar dari kesadaran akan keadilan dan martabat. Ketika rakyat daerah menuntut hak atas tanah, lingkungan, dan penghidupan yang layak, mereka sedang menyelamatkan republik dari kehancuran struktural yang menggerogoti fondasinya.

News Feed