FAJAR, MAKASSAR-Penemuan kasus Tubercolosis (TBC) di Sulawesi Selatan masih rendah. Kesadaran masyarakat sangat kurang.
Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah kasus di Sulawesi Selatan per 1 Juli sudah menyentuh angka 12.983 kasus. Namun, jika dibandingkan dengan target atau perkiraan penemuan kasus tahun ini sebesar 45.472 kasus, temuan itu masih rendah sebab baru 29 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Ishaq Iskandar mengatakan, Sulsel menetapkan target di atas 90 persen untuk penemuan kasus TBC tahun ini. Kata ia, semakin tinggi temuan kasus, maka intervensi penanganan semakin mudah dilakukan.
Rendahnya penemuan kasus TBC dapat menghambat penanganan TBC secara menyeluruh. Saat ini, kesadaran masyarakat yang punya gejala untuk memeriksakan diri masih rendah.
“Sebenarnya harapannya kita minimal 90 persen, tapi kan kita tahulah masyarakat kadang-kadang anggap biasa penyakitnya, sehingga malas biasa ke puskesmas. Padahal fasilitas ini pusat kesehatan masyarakat, datanglah ke sana. Atau ada yang klinik terdekat, boleh. Sekarang BPJS-nya kan ada di situ faskesnya, fasilitas kesehatan tingkat pertamanya,” ujar Ishaq, Rabu, 16 Juli.
Ishaq menjelaskan bahwa penanganan TBC merupakan salah satu Astacita Presiden Prabowo, dengan harapan penanganan TBC di Indonesia bisa tuntas dengan baik, termasuk di Sulawesi Selatan yang juga menjadi program Gubernur dan Ibu Wakil Gubernur.
Kata Ishaq, obat TBC bisa ditemukan di Puskesmas dan dapat diambil secara gratis oleh masyarakat. Adapun gejala yang dialami masyarakat terindikasi TBC misalnya batuk selama tiga pekan tanpa henti, batuk mengeluarkan darah, dan demam berkeringat. Dengan kondisi demikian, Ishaq menghimbau agar masyarakat segera memeriksakan diri ke Puskesmas.
“Obatnya gratis dan diobati sampai kurang lebih 6 bulan, sampai sembuh. Karena kalau diobati, insya Allah dia bisa tidak menyebarkan atau menularkan
kepada keluarganya, misalnya neneknya tidak menularkan kepada cucunya, ibu kepada anaknya, dan seterusnya, dan keluarga-keluarganya yang lain, kontak-kontaknya, kontak serumah, kontak sekantor atau kontak ke sekolah,” ungkapnya.
Kasus TBC tertinggi ada di Kota Makassar dengan 7.970 kasus, lalu di Kabupaten Bone 4.560 kasus, dan Kabupaten Gowa 3.403 kasus. Beberapa daerah dengan cakupan penemuan kasus tertinggi seperti di Kabupaten Bantaeng 54 persen, Parepare 54 persen, dan Makassar 53 persen. Sementara daerah dengan cakupan terendah diantaranya Enrekang 10 persen, Tana Toraja 12 persen, dan Toraja Utara 15 persen.
Ishaq menjelaskan beberapa faktor penyebab peningkatan kasus TBC di sebuah daerah jika ia masuk kategori miskin, kumuh, dan padat penduduk.
“Ada beberapa daerah memang seperti Makassar, Pangkep, Jeneponto dan daerah-daerah yang saya kira biasanya ini penyakit banyak terkait dengan kemiskinan dan daerah kumuh dan miskin. Daerah-daerah yang tingkat kesehatan kebersihan lingkungan atau kesehatan lingkungannya yang bermasalah, saya kira itu salah satu yang padat,” bebernya.
Langkah-langkah mudah yang dapat ditempuh dalam megantisipasi penyebarluasan TBC antara lain dengan menjaga kebersihan, menghindari polusi udara, asap rokok, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
“Karena kan kalau kita lihat ini kumannya banyak, tapi karena daya tahan tubuh kita mungkin bisa menghadapi itu sehingga kita tidak terkena atau tidak mengidap penyakit itu,” tukas Ishaq.
Diskes pun terus mensosialisasikan informasi perihal TBC ini baik melalui platform media sosial, posyandu, puskesmas, dan kampanye perubahan perilaku hingga ke masyarakat.
“Bagaimana supaya masyarakat ini sadar kalau dia batuk atau flu atau demam atau influenza itu periksa lah, kita harus periksa. Periksa ke puskesmas terdekat. Atau klinik terdekat yang kira-kira aksesnya mudah untuk mereka,” ungkapnya.
Ishaq menghimbau agar masyarakat tidak menganggap sepele penyakit TBC, apalagi yang sudah sampai batuk mengeluarkan darah. Sebab dapat berdampak fatal dan membahayakan orang sekitar.
“Jangan juga berhenti obat-obat, karena itu bisa nanti resistensi obat lagi, TBRO (Tuberkolosis Resisten Obat) lagi, lebih parah lagi nanti pengobatannya, lebih susah, dan bisa banyak penyebarannya lagi kalau yang terjadi seperti itu,” tandasnya.
Data dari Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, tren kasus TBC di Sulsel terjadi peningkatan selama dua tahun yaitu tahun 2023 sebesar 26.579 kasus atau 56,46 persen capaian pemeriksaan TBC, dan tahun 2024 meningkat menjadi 30.369 kasus atau 66,66 persen capaian pemeriksaan.
Dari angka tersebut, pada tahun 2024, jumlah kematian kohort pasien 2023 mencapai 1.294 kasus. Sementara jumlah sembuh mencapai 19.006 orang. Jumlah kematian kohort pasien 2024 sebanyak 1.461 kasus.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Sulsel M Yusri memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan TBC terus meningkat. Yaitu, kepadatan penduduk kumuh padat dan kumuh miskin karena penularan melalui droplet oleh pasien TBC. Lalu, terlambatnya ditemukan kasus TBC aktif, sehingga potensi penularan sangat cepat pada kontak serumah dan kontak erat.
Kemiskinan yang berkaitan dengan status gizi masyarakat di mana orang dengan ekonomi rendah lebih rentan mengalami gizi kurang karena keterbatasan terhadap daya beli makanan bergizi. Kemudian, kondisi rumah yang tidak memenuhi standar rumah sehat . “Stigma masyarakat yang membuat terjadinya keterlambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan,” ujar Yusri.
Adapun Diskes saat ini terus berupaya mengecek dan menemukan kasus TBC aktif untuk mempercepat pengendalian penularannya. Misalnya, investigasi kontak kasus indeks TBC oleh petugas TBC dan kader komunitas. Active Case Finding pada kelompok berisiko tinggi dengan menggunakan portable Xray pada 24 kabupaten dan kota.
Lalu, skrining dengan melibatkan pihak ketiga (PARAHITA LAB) yang dilakukan secara massif dan berkolaborasi dengan program Kusta di lima kabupaten yaitu Wajo, Luwu, Bulukumba, Jeneponto dan Pinrang. Penguatan jejaring layanan pemerintah dan swasta dalam penemuan kasus TBC. Pelibatan kader dan Masyarakat untuk melakukan skrining secara mandiri melalui CHATBOT.
“Kolaborasi program TBC dengan program HIV, DM, KIA dan Imunisasi. Skrining TBC di Lapas dengan mendorong pemberian TPT,” bebernya.
Yusri menyadari tantangan dalam penanganan TBC seperti kurangnya sinergitas antara pemerintah, organisasi non pemerintah dan Masyarakat dalam program penanganan TBC. Lalu, stigma masyarakat masih melekat pada penderita TBC, minimnya pengetahuan masyarakat tentang TBC, belum semua layanan swasta terlibat dalam program TBC
Keterbatasan pendanaan melalui APBD untuk penanggulangan TBC, rencana jangka panjang penanggulangan TBC, penguatan komitmen dan kepemimpinan provinsi dengan membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanggulangan TBC untuk percepatan Eliminasi TBC di Sulsel.
Melibatkan tokoh Masyarakat dan komunitas dalam menyuarakan dukungan terhadap penderita TBC. Peningkatan peran serta komunitas, mitra dan multisektor lainnya dalam eliminasi TBC.
Optimalisasi penemuan kasus di faskes swasta seperti rumah sakit, klinik dan TPMD dengan mengembangkan jejaring Kerjasama dalam pelayanan pasien TBC. Surveilans aktif dengan cara investigasi pada kontak serumah dengan melibatkan kader Kesehatan. Melakukan skrining secara massif pada kelompok berisiko dan wilayah Kumuh Padat Kumuh Miskin.
“Mengadvokasi peningkatan alokasi dana APBD khusus untuk program TBC. Mencari sumber dana tambahan melalui Kerjasama dengan sektor swasta dan organisasi sosial lainnya,” pungkasnya. (uca)