Oleh: Loni Domapa
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Pascasarjana, Universitas Fajar Makassar
“Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau bisa dapat uang dari YouTube?”
Pernyataan ini mungkin terdengar ekstrem, tapi tidak asing di telinga kita. Saat ini, dunia digital telah menciptakan berbagai jalan pintas menuju popularitas dan penghasilan. Dari TikTok, YouTube, hingga Shopee Affiliate, anak-anak muda semakin banyak yang tergiur menanggalkan bangku sekolah dan fokus menjadi konten kreator. Mereka melihat idola-idola digital seusia mereka sukses dengan modal kamera ponsel, sedikit kreativitas, dan keberuntungan viral.
Namun, apakah fenomena ini adalah kemajuan atau justru gejala baru dari kegagapan kita dalam menyikapi era digital?
Ruang publik digital dan perubahan identitas
Menggunakan pendekatan teori Ruang Publik Digital (Habermas yang diperluas), media sosial kini menjadi arena baru tempat anak muda mencari eksistensi, pengakuan, dan pengaruh. Dahulu, pendidikan adalah simbol prestise dan masa depan cerah. Kini, status sosial anak muda justru lebih sering diukur lewat seberapa besar jumlah followers mereka, seberapa viral kontennya, dan berapa penghasilan dari endorsement.
Digitalisasi menciptakan tatanan sosial baru di mana logika algoritma lebih menentukan masa depan dibanding nilai rapor atau ijazah. Ruang publik digital membentuk ulang identitas dan orientasi hidup generasi muda.
Bukan lagi hanya mereka yang putus sekolah
Fakta menarik: tren menjadi konten kreator tidak hanya digandrungi oleh mereka yang putus sekolah. Banyak anak muda yang sedang kuliah, bahkan yang sudah lulus sarjana dan pascasarjana, akhirnya meninggalkan jalur kerja formal dan fokus menjadi konten kreator.
Alasannya sederhana dan masuk akal secara ekonomi: pendapatan dari dunia digital bisa berkali-kali lipat lebih besar daripada gaji pegawai kantoran, terutama yang hanya menerima upah minimum regional (UMR). Di kota-kota besar, UMR berkisar antara 2–5 juta rupiah per bulan. Sementara seorang konten kreator yang berhasil mendapatkan 100 ribu tayangan per hari di TikTok atau YouTube bisa meraup penghasilan jutaan rupiah hanya dari satu video.
Ada juga lulusan teknik, hukum, bahkan kedokteran yang banting setir menjadi kreator karena merasa kerja kantoran penuh tekanan, birokrasi, dan hasil finansial yang tidak sebanding.
Kapitalisme platform: antara kebebasan dan eksploitasi
Dari sudut pandang Teori Ekonomi Politik Media (Mosco, 2009), kita perlu menelaah bahwa media sosial bukan hanya ruang berekspresi, melainkan bagian dari sistem ekonomi kapitalistik. Platform seperti TikTok dan YouTube bukan ruang publik netral. Mereka adalah bisnis global yang mendapatkan keuntungan dari atensi pengguna.
Anak muda yang menjadi konten kreator sesungguhnya sedang bekerja di bawah sistem digital yang kompleks. Mereka memproduksi konten secara rutin, mengikuti tren, membaca algoritma, dan bersaing dengan jutaan orang. Mereka bukan bos, tapi “buruh kreatif” yang bekerja untuk algoritma—dengan jam kerja tak menentu dan tanpa jaminan sosial.
Risiko dan ilusi kesuksesan
Fenomena ini menciptakan survivor bias: kita hanya melihat yang sukses, bukan jutaan yang gagal. Anak muda sering hanya melihat sosok YouTuber terkenal atau TikToker viral, tanpa menyadari bahwa lebih banyak yang menghabiskan waktu, uang, dan tenaga membuat konten tanpa hasil apa-apa.
Konten kreator juga tidak kebal dari burnout, stres, dan fluktuasi penghasilan. Algoritma bisa berubah kapan saja. Akun bisa diblokir, penonton bisa bosan, dan tren bisa berganti. Ketidakpastian ini membuat karier digital tak seaman pekerjaan formal, meskipun terlihat glamor di luar.
Pergeseran nilai: ketika sopan santun kalah oleh algoritma
Salah satu dampak paling nyata dari budaya digital adalah melemahnya nilai sopan santun dan norma sosial, terutama di kalangan anak muda yang aktif sebagai konsumen maupun produsen konten. Media sosial yang menuntut sensasi, keterbukaan, dan kejutan visual telah memicu banyak kreator untuk melampaui batas kesantunan demi perhatian dan keuntungan.
Ambil contoh beberapa tren konten TikTok yang memperlihatkan tarian dengan pakaian minim, candaan yang menjurus vulgar, atau eksploitasi isu sensitif seperti kemiskinan, agama, bahkan kekerasan rumah tangga—semua dilakukan demi viewers, like, dan endorsement. Algoritma media sosial tidak menilai etika atau nilai, hanya mengutamakan keterlibatan (engagement).
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk “viral” seringkali mengalahkan akal sehat dan nilai budaya yang luhur. Batas antara ekspresi kreatif dan pelanggaran norma menjadi kabur. Di sinilah pentingnya pendidikan moral dan literasi digital yang kuat—sehingga anak muda tak hanya pandai membuat konten, tapi juga sadar nilai dan dampaknya bagi masyarakat.
Dunia digital bukan netral, tapi menuntut standar baru
Ruang digital bukanlah tempat yang bebas nilai. Justru karena kekuatannya dalam membentuk opini dan budaya, maka seharusnya ruang ini dijaga agar tidak menjadi sarang normalisasi perilaku menyimpang. Banyak remaja saat ini yang menilai aurat, privasi, bahkan aib sebagai “aset konten”. Mereka merekam momen menangis, konflik keluarga, bahkan kejadian buruk tanpa berpikir panjang, hanya untuk memancing simpati atau emosi publik.
Hal ini memperkuat argumen bahwa dunia digital telah menjadi kekuatan budaya baru yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai pendidikan dan kesantunan bangsa. Maka, ketika sekolah ditinggalkan demi dunia digital, bukan hanya soal ekonomi yang dikorbankan, tapi juga karakter dan jati diri sebagai warga bangsa.
Sekolah harus kembali menjadi penjaga nilai
Pendidikan formal, bila dikelola dengan baik dan mengikuti perkembangan zaman, bisa menjadi tempat terbaik untuk menanamkan etika digital dan tanggung jawab sosial dalam bermedia. Sekolah perlu membekali siswa dengan:
Pengetahuan tentang etika publik dan sopan santun di ruang digital
Pemahaman batas antara privasi dan konten
Kesadaran bahwa setiap konten yang dibuat memiliki konsekuensi sosial
Tanpa pendidikan, ruang digital bisa berubah menjadi medan liar, tempat siapa pun bisa menyebarkan apapun tanpa kontrol. Di sinilah peran sekolah menjadi sangat vital, bukan sebagai penghambat kreativitas, tapi penjaga nilai dan arah budaya bangsa.
Sinergi bukan dikotomi
Daripada mempertentangkan “sekolah vs konten”, kita perlu mendorong sinergi. Ada banyak contoh konten kreator sukses yang juga cemerlang secara akademik. Bahkan, latar belakang pendidikan mereka menjadi nilai tambah—misalnya dokter yang membuat konten kesehatan, atau guru yang mengedukasi lewat TikTok.
Anak muda Indonesia punya potensi luar biasa. Namun potensi itu hanya bisa optimal jika dibekali dengan pendidikan yang kuat dan adaptif. Dunia digital memang membuka peluang, tapi hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang memiliki nalar, nilai, dan keuletan.
Penutup: Pendidikan Bukan Penghambat, Tapi Penguat
Sekolah dan dunia digital tidak harus saling meniadakan. Pendidikan tetap relevan bahkan di era algoritma, justru karena anak muda membutuhkan fondasi nilai, nalar kritis, dan etika di tengah derasnya informasi dan godaan instan.
Menjadi konten kreator tidak salah. Tapi menjadi kreator yang cerdas, etis, dan bernilai hanya bisa dicapai dengan pendidikan yang kuat. Sekolah bukan penghalang kesuksesan digital—sekolah adalah pondasi agar sukses itu bermakna dan berkelanjutan.
Referensi
Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.
Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. SAGE Publications.
Srnicek, N. (2017). Platform Capitalism. Polity Press.
Nasrullah, R. (2020). Komunikasi di Era Digital.