English English Indonesian Indonesian
oleh

Demi Pancasila Kita Robohkan Kapitalisme Indonesia!

Oleh: TAJUDDIN NOER*

Pancasila yang kita agungkan dalam setiap pidato seolah hanya tinggal hiasan di dinding instansi dan pembuka upacara seremonial. Di balik simbol-simbol sakral itu, sistem yang menggerakkan bangsa ini justru terang menunjukkan wajah aslinya: kapitalisme yang rakus dan jauh dari nilai kemanusiaan, apalagi spiritualitas.

Kita tidak sedang hidup dalam negara yang berdasarkan Pancasila. Kita hidup di bawah sistem yang memperalat Pancasila. Pejabat hidup hedonis, pejabat daerah melarat, sementara rakyat dipaksa menanggung beban pembangunan yang hanya memperkaya segelintir elite pusat.

Suara-suara dari kampung, hutan, pesisir, dan daerah tertinggal nyaris tak pernah masuk meja kebijakan.Saatnya kita nyatakan dengan lantang: Demi Pancasila, kapitalisme Indonesia yang brutal dan kemunafikan ini harus kita robohkan!

Pancasila Dipakai, Rakyat Diperas

Sebutlah pembangunan. Ia selalu dibungkus dalih “demi kemajuan bangsa”. Namun, siapa yang benar-benar menikmati kemajuan itu? Di Jawa, pembangunan berarti jalan tol dan bandara. Di Papua, pembangunan berarti aparat dan perampasan tanah. Di Sulawesi, tambang nikel masuk, hutan hilang, udara rusak, tetapi rakyat tetap miskin.

Padahal, dalam sila-sila Pancasila, sangat jelas diletakkan dasar negara ini bukan pada eksploitasi, melainkan pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Namun, yang kita lihat hari ini adalah:Ketuhanan hanya menjadi pembuka acara, tetapi kezaliman diizinkan atas nama regulasi.Kemanusiaan dihina ketika rakyat digusur tanpa rumah pengganti.

Persatuan dipreteli oleh ketimpangan antardaerah. Musyawarah digantikan oleh lobi dan tender. Keadilan sosial dikalahkan oleh keuntungan segelintir investor.

Inilah wajah kapitalisme Indonesia: bertopeng Pancasila, tetapi bergerak seperti penjajah.

Ketimpangan Daerah-Pusat: Kolonialisme Gaya Baru

Data menunjukkan bahwa ketimpangan antardaerah semakin parah:40% PDB nasional terkonsentrasi di Pulau Jawa, padahal pulau lain menyediakan sumber daya terbesar (BPS, 2023).

Kawasan industri tambang di Sulawesi Tengah dan Tenggara menyumbang ekspor nikel triliunan rupiah, tetapi rakyat sekitar hidup di rumah papan dan jalan tanah.

Papua Barat dan Papua Tengah mencatat salah satu indeks kemiskinan tertinggi nasional, padahal emas dan tembaga dari sana menopang keuangan negara.

Kapitalisme pusat-daerah ini adalah kolonialisme internal. Jakarta dan kota besar ibarat “negeri induk”, sementara desa dan daerah menjadi “koloni sumber bahan mentah”. Pemerintah pusat menentukan regulasi, investor datang dengan Undang-Undang Omnibus Law, rakyat hanya disuruh “bersyukur” sambil menyaksikan alam mereka hancur.

Pejabat: Penerus Kapitalisme atau Penjaga Pancasila?

Dalam banyak kasus, pejabat—baik pusat maupun daerah—justru menjadi alat kapitalisme itu sendiri. Berapa banyak kepala daerah yang tersandung korupsi karena proyek? Berapa banyak menteri yang terlibat dalam penyusunan regulasi proinvestor, tetapi antirakyat?

Kapitalisme ala Indonesia ini bukan hanya soal pasar bebas, melainkan juga tentang oligarki kekuasaan dan pembusukan moral pejabat. Mereka bicara “Pancasila”, tetapi hidup dalam kemewahan, mengumpulkan jabatan, dan menjadikan rakyat sebagai komoditas.Inilah bentuk pengkhianatan nyata terhadap nilai luhur bangsa. Dan selama kita membiarkan hal ini terus berjalan, Pancasila hanya akan menjadi mantra kosong.

Saatnya Revolusi Pemikiran dan Tindakan

Kita tidak anti pembangunan, tetapi kita menolak pembangunan yang hanya menghitung pertumbuhan tanpa keadilan. Kita tidak anti negara, tetapi kita menolak negara yang berpihak pada elite dan lupa pada akar budayanya sendiri.

Oleh karena itu, kita perlu merombak sistem berpikir pembangunan dan kekuasaan bangsa ini. Beberapa langkah penting yang bisa dilakukan adalah:

Revolusi Narasi Pembangunan

Pembangunan harus diukur dari kesejahteraan komunitas, bukan dari angka PDB. Ukuran sukses negara adalah rendahnya angka kelaparan, kualitas pendidikan desa, dan kelestarian lingkungan, bukan peringkat investasi.

Ekonomi Pancasila

Gagasan ini digagas oleh Prof. Mubyarto sejak 1980-an: ekonomi yang berbasis gotong royong, pemerataan, dan kearifan lokal. Namun, hari ini gagasan itu dibungkam oleh neoliberalisme.

Desentralisasi yang BermaknaBukan sekadar dana transfer, melainkan hak menentukan nasib sendiri bagi daerah—mulai dari kebijakan fiskal, tata ruang, hingga penggunaan sumber daya.

Kembalikan Kekuatan Adat dan Komunitas Lokal

Negara harus berhenti menganggap masyarakat adat sebagai penghambat pembangunan. Justru merekalah penjaga terakhir dari nilai hidup spiritual, ekologis, dan sosial yang selama ini dilupakan.

Saatnya Kita Bicara Jujur dan Bertindak

Bangsa ini tak akan selamat jika terus membungkus kapitalisme dengan lambang Garuda. Tidak ada artinya lagu “Indonesia Raya” jika rakyat harus menjual tanahnya demi jalan tol yang tak bisa mereka lewati.

Tidak ada artinya upacara kemerdekaan jika kebijakan justru memperbudak warga lewat kontrak kerja seumur hidup.

Demi Pancasila—kita bukan hanya perlu menggugat. Kita perlu merobohkan sistem berpikir, kebijakan, dan elite yang telah menjual bangsa ini. Mari kita bangun arah baru. Pancasila bukan untuk dihafal, tetapi untuk diperjuangkan. (*)

*Penulis adalah aktivis mahasiswa Makassar era 1990-an

News Feed