FAJAR, TEL AVIV – Untuk pertama kalinya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka mengakui bahwa serangan udara Israel telah menggempur satu-satunya Gereja Katolik di Jalur Gaza. Namun, pengakuan itu tidak lahir dari empati atau tekanan masyarakat internasional, melainkan setelah panggilan telepon yang “tidak menyenangkan” dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Serangan ke Gereja Keluarga Kudus terjadi pekan lalu, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya, termasuk Pastor Gabriel Romanel. Serangan ini menambah daftar panjang sasaran sipil yang terdampak agresi militer Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 58.000 warga Palestina.
Gedung Putih lewat Sekretaris Pers Karoline Leavitt membenarkan percakapan keras antara Trump dan Netanyahu usai kejadian tersebut. “Bukan reaksi yang positif,” jawab Leavitt singkat, ketika ditanya bagaimana respons presiden terhadap Netanyahu.
Beberapa jam berselang, Kantor Perdana Menteri Israel merilis pernyataan bernada penyesalan. “Israel sangat menyesalkan amunisi nyasar yang mengenai Gereja Keluarga Kudus di Gaza,” bunyi pernyataan resmi itu, seperti dikutip dari Times of Israel, Sabtu, 19 Juli 2025.
“Setiap nyawa tak berdosa yang melayang adalah tragedi. Kami turut berduka cita bersama keluarga dan umat beriman,” tulis mereka, sambil menyebut bahwa saat ini tengah dilakukan penyelidikan internal atas insiden tersebut.
Namun, pengakuan itu belum cukup meredam gelombang kemarahan dari komunitas internasional. Banyak yang menilai, pernyataan Israel hanyalah respons pragmatis atas tekanan diplomatik Washington. Sebab, sepanjang agresi yang telah berlangsung selama lebih dari sembilan bulan, Israel telah berkali-kali menyerang fasilitas sipil—dari rumah sakit, kamp pengungsi, sekolah, hingga tempat ibadah—dengan alasan bahwa tempat-tempat tersebut dijadikan markas atau titik persembunyian Hamas.