English English Indonesian Indonesian
oleh

Zionis Gagal Belajar dari Nazi

Spektrum: Saharuddin Daming

Ketika rezim Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler berkuasa di Jerman pada tahun 1933 hingga 1945, dunia menyaksikan salah satu tragedi paling mengerikan dalam sejarah modern: kebijakan pembersihan etnis yang secara sistematis ditujukan kepada kaum Yahudi.

Holocaust, sebagai manifestasi dari kebijakan tersebut, menyebabkan pembunuhan lebih dari enam juta Yahudi di seluruh Eropa. Ideologi supremasi rasial yang dianut Nazi tidak hanya menghancurkan komunitas Yahudi, tetapi juga kelompok lain seperti Roma, orang cacat, homoseksual, dan lawan politik. Kejahatan ini kemudian diadili dalam Pengadilan Nuremberg setelah kekalahan Nazi dalam Perang Dunia Kedua. Melalui pengadilan ini, dunia internasional mulai merumuskan prinsip-prinsip hukum pidana internasional modern, termasuk konsep kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida. Namun, tidak semua pelaku berhasil ditangkap. Banyak tokoh Nazi melarikan diri ke Amerika Selatan dan Timur Tengah dengan menggunakan identitas palsu, bersembunyi dari kejaran keadilan.

Yang menarik, beberapa dari mereka akhirnya berhasil ditangkap oleh dinas intelijen Israel, Mossad. Salah satu yang paling terkenal adalah Adolf Eichmann, arsitek utama Holocaust, yang ditangkap di Argentina pada 1960 dan dibawa ke Israel untuk diadili. Penangkapan ini dianggap sebagai kemenangan moral dan simbolik bagi korban Holocaust, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak akan pernah kadaluarsa. Akan tetapi, apa yang sangat disesalkan oleh banyak pihak adalah bagaimana negara Israel, yang lahir dari trauma Holocaust, justru mengadopsi kebijakan yang dalam banyak hal dianggap mencerminkan tindakan penindasan serupa terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza. Ini menimbulkan ironi sejarah yang tajam, di mana korban penindasan di masa lalu kini diduga menjadi pelaku penindasan di masa kini.

Sejak 7 Oktober 2023, ketika perang besar kembali meletus antara Israel dan kelompok Hamas, wilayah Gaza menjadi sasaran utama serangan militer Israel yang dikenal sebagai IDF (Israel Defense Forces). Serangan ini tidak hanya menargetkan infrastruktur militer, tetapi juga sistem sipil seperti rumah sakit, sekolah, serta fasilitas air dan listrik. IDF menerapkan blokade total terhadap Gaza, yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan dalam skala luas. Banyak warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, meninggal bukan karena senjata, tetapi karena kelaparan, dehidrasi, dan penyakit yang tak tertangani. Bahkan, menurut laporan dari organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, sejumlah warga Gaza dibunuh saat mereka mengantre untuk menerima bantuan kemanusiaan dari organisasi seperti World Central Kitchen. Keadaan ini disebut sebagai bentuk hukuman kolektif, yang secara eksplisit dilarang dalam Konvensi Jenewa Keempat.

Richard Falk, seorang ahli hukum internasional dan mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina, menyatakan bahwa kebijakan Israel terhadap Gaza dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan bahkan mendekati karakteristik genosida. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2014, Falk menyebut bahwa apa yang dilakukan Israel bukan sekadar perang, tetapi operasi penghancuran terhadap masyarakat sipil yang terisolasi dan tak berdaya. Dalam pandangan ilmuwan politik Norman Finkelstein, yang banyak menulis tentang konflik Israel-Palestina, Gaza menjadi contoh genosida perlahan—a slow-motion genocide—di mana penghancuran terhadap suatu kelompok dilakukan secara bertahap, terstruktur, dan berulang.

Lebih jauh lagi, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, disebut secara terbuka memiliki niat untuk “mengosongkan” Gaza. Beberapa pernyataannya di media dan forum internasional menunjukkan bahwa ia mempertimbangkan pemindahan massal warga Gaza ke negara-negara lain, terutama Mesir, dalam bentuk pengungsian permanen. Kebijakan seperti ini mengingatkan dunia pada praktik pengusiran paksa yang dikenal dalam sejarah sebagai pembersihan etnis. Dalam banyak pernyataan, beberapa pemimpin militer Israel bahkan mengancam akan “mengubah Gaza menjadi debu” jika Hamas menolak gencatan senjata, yang oleh sebagian besar komunitas internasional dianggap sebagai bentuk tekanan ekstrem yang mengabaikan prinsip proporsionalitas dalam hukum perang.

Dalam konteks klaim ideologis, Zionisme sebagai ideologi pendirian negara Israel seringkali merujuk pada narasi religius tentang “Tanah yang Dijanjikan” dalam kitab suci Yahudi. Narasi ini digunakan untuk melegitimasi pendudukan atas wilayah Palestina, termasuk Gaza dan Tepi Barat. Namun, klaim ini tidak memiliki dasar dalam hukum internasional modern. Ilan Pappé, seorang sejarawan Israel yang kritis terhadap kebijakan negaranya, menyatakan bahwa doktrin religius yang digunakan oleh gerakan Zionis adalah alat politik untuk melegitimasi proyek kolonialis pemukiman Yahudi di tanah yang sudah dihuni oleh bangsa lain. Ia bahkan menulis dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine bahwa pembersihan etnis terhadap Palestina bukan sekadar dampak konflik, melainkan kebijakan sistematis sejak tahun 1948.

Menambah kompleksitas masalah ini, elit kekuasaan di Israel didominasi oleh kelompok Yahudi Ashkenazi, yaitu keturunan Yahudi dari Eropa Timur yang melakukan eksodus besar-besaran ke Timur Tengah setelah meningkatnya anti-Semitisme di Eropa pada awal abad ke-20. Mereka bukan penduduk asli Timur Tengah, melainkan kaum pendatang yang membawa serta narasi historis religius sebagai alat pembenaran klaim wilayah. Shlomo Sand, profesor sejarah di Universitas Tel Aviv, dalam bukunya The Invention of the Jewish People, menyatakan bahwa ide tentang bangsa Yahudi murni yang kembali ke tanah asalnya adalah mitos modern yang dibentuk untuk mendukung agenda nasionalisme Zionis. Narasi tersebut menutupi kenyataan bahwa tanah Palestina telah dihuni oleh bangsa Arab selama ribuan tahun.

Bangsa Palestina, yang merupakan penduduk asli wilayah tersebut, kini terpinggirkan secara sistematis. Mereka tidak hanya menjadi korban pengusiran, tetapi juga ditolak hak dasar mereka untuk hidup, bekerja, dan bermigrasi secara bebas. Sejak terjadinya Nakba pada tahun 1948, ketika sekitar 750.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka untuk memberi jalan bagi pendirian negara Israel, rakyat Palestina hidup dalam kondisi pengungsian yang tidak menentu. Edward Said, cendekiawan Palestina terkemuka, menyebut bahwa rakyat Palestina adalah “korban dari para korban” — mereka menjadi korban dari sebuah proyek negara yang dilahirkan dari penderitaan, namun tak segan untuk mengulangi penderitaan itu kepada orang lain.

Konflik antara Israel dan Palestina adalah cerminan kelam dari bagaimana trauma sejarah bisa berubah menjadi alat pembenaran penindasan baru. Dalam konteks Gaza, dunia kini menyaksikan bentuk kekerasan yang tak hanya bersifat militer, tetapi juga simbolik dan sistemik. Tindakan Israel terhadap Gaza, jika dilihat melalui kacamata hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan, mencerminkan watak kolonialisme dan imperialisme dalam format modern. Ironi sejarah menjadi begitu menyakitkan ketika negara yang lahir dari penderitaan Holocaust justru dituduh mengulangi pola penindasan yang sama terhadap rakyat yang tak bersenjata. Keadaan ini menuntut refleksi mendalam dari komunitas internasional, agar keadilan dan kemanusiaan tidak hanya menjadi retorika, tetapi menjadi prinsip nyata dalam menyikapi konflik yang terus membara di Timur Tengah.

News Feed