Pemisahan jadwal pemilu sebenarnya sudah pernah terjadi, khususnya antara pemilihan presiden dan kepala daerah.
“Selama ini memang sebagian sudah terpisah. Misalnya pemilu presiden dan gubernur serta bupati/wali kota, dan kita sudah melaksanakan pemisahan beberapa kali,” ujar Haekal.
Aspek baru dari putusan MK terletak pada pemisahan jadwal antara pemilu DPR RI- DPD dan Pilpres dengan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Namun menurutnya, keterpisahan tersebut bukan sesuatu yang asing, baik secara historis di Indonesia maupun dalam praktik demokrasi di berbagai negara lain.
“Jadi keterpisahan ini secara historis di Indonesia memang sudah terjadi sebahagian, lalu di negara lain memisahkan pemilu nasional dan lokal itu sudah lama dipraktikkan,” jelasnya.
Terkait implementasi putusan MK, hal itu sepenuhnya bergantung pada langkah politik di parlemen. DPR sebagai pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan MK melalui revisi Undang-Undang Pemilu.
“Soal terlaksana atau tidak ini kembali ke DPR yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UU sesuai dengan keputusan MK tersebut,” tegasnya.
Terkait dengan sikap PKB menganai hal terebut, Haekal mengatakan untuk sementara masih dalam tahap pembicaraan di internal. “Kalau ini (Sikap PKB) sementara didiskusikan di internal partai di pusat,” tuturnya.
Hindari Kekosongan
Wakil Sekretaris DPD Partai Gerindra Sulsel, Hasrul Abdul Rajab (HAR) mengatakan, putusan tersebut berpotensi menimbulkan kekosongan masa jabatan anggota DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota jika tidak diantisipasi dengan peraturan yang jelas.