FAJAR, MAKASSAR — Pertemuan tahunan Unit Pengelola Perikanan (UPP) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713, 714, dan 715 resmi digelar di Gedung Iptek Universitas Hasanuddin (Unhas), Rabu, 16 Juli 2025.
Forum ini menjadi momen strategis bagi para pemangku kepentingan untuk membahas arah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya dalam rangka implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Komjen Pol (Purn) Lotharia Latif, menegaskan bahwa Lembaga Pengelola Perikanan (LPP) WPPNRI hadir sebagai wadah koordinasi utama yang menaungi seluruh aktivitas pengelolaan perikanan berbasis wilayah.
“LPP tidak hanya menjalankan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP), tetapi juga berperan penting dalam memberikan rekomendasi kebijakan yang menekankan keberlanjutan dan efisiensi pemanfaatan sumber daya,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kesejahteraan masyarakat pesisir tetap menjadi prioritas utama, namun harus diiringi dengan upaya pelestarian ekosistem laut.
“Ini adalah amanat konstitusi. Kita tidak boleh mengorbankan keberlanjutan demi keuntungan jangka pendek,” tegasnya.
Lotharia juga mengungkapkan bahwa sekitar 65 persen pelaku sektor perikanan di Indonesia adalah nelayan kecil yang harus mendapat perlindungan dan pemberdayaan. Sementara itu, pelaku usaha besar tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Kebijakan harus seimbang. Perlindungan terhadap nelayan kecil harus sejalan dengan tata kelola ekonomi biru,” katanya.
Dalam forum ini, pembentukan Komisi Pengelola Perikanan juga turut dibahas. Komisi ini nantinya akan berperan dalam merumuskan masukan untuk penyusunan RPP, melakukan evaluasi pelaksanaan, hingga memberi rekomendasi kebijakan berkelanjutan. Komisi ini akan diperkuat oleh dua panel, yakni panel ilmiah dan panel konsultatif.
Menyadari pentingnya sinergi antarinstansi, forum ini turut melibatkan berbagai kementerian dan lembaga seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Tidak bisa lagi jalan sendiri-sendiri. Semua harus terintegrasi,” tambahnya.
Salah satu strategi yang terus didorong adalah penerapan jeda tangkap (fishing moratorium), seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah negara. Tujuannya adalah memberi waktu bagi pemulihan populasi ikan dan menjaga keberlangsungan siklus reproduksi.
“Selama ini penangkapan ikan berlangsung hampir 24 jam tanpa henti. Ini yang harus kita tata ulang,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. M. Ilyas, mengungkapkan bahwa pihaknya akan menetapkan sekitar 66 ribu hektare sebagai kawasan konservasi laut.
“Ini merupakan bentuk dukungan terhadap kebijakan PIT dan konservasi. Kami juga akan mendorong pelibatan pulau-pulau kecil dalam program ini,” ucapnya.
Selain tuna, forum ini juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap lima komoditas strategis lainnya, yaitu: cumi, udang, kakap, kerapu, dan jenis-jenis tuna lainnya. Pemantauan populasi serta distribusinya akan menjadi bagian dari rencana aksi di masing-masing wilayah pengelolaan.
Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Jamaluddin Jompa, berharap agar LPP WPPNRI dapat menjadi forum dinamis dalam menyesuaikan kebijakan kuota penangkapan, menyusun strategi konservasi, sekaligus menjaga daya saing sektor perikanan di pasar internasional.
“Banyak negara sudah lebih maju dalam pengelolaan perikanannya. Kita harus segera menyusul dan bahkan melampaui mereka,” tandas Prof JJ.
Ia juga menekankan bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir mencapai 250 juta jiwa, kebutuhan domestik terhadap produk perikanan jauh lebih besar dibandingkan volume ekspor. Ini menjadi tantangan tersendiri, di mana tata kelola perikanan harus mampu menjawab kebutuhan nasional tanpa mengabaikan peluang pasar global. (wis/*)