FAJAR, BOGOTA – Ia lahir di Medellín, tapi hidupnya mengubah wajah Kolombia untuk selamanya. Di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, nama Pablo Emilio Escobar Gaviria bukan sekadar pengendali kokain dunia, tapi juga simbol betapa negara bisa ditundukkan oleh uang dan darah.
Escobar bukan kriminal biasa. Ia adalah dalang di balik jaringan narkoba terbesar dunia lewat Kartel Medellín—organisasi yang memasok sekitar 80 persen kebutuhan kokain global.
Majalah Forbes bahkan menempatkannya dalam daftar orang terkaya dunia selama tujuh tahun berturut-turut sejak 1987. Tahun 1988, kekayaannya ditaksir mencapai US$3 miliar, setara dengan Rp15 miliar per hari saat itu.
Namun kekayaan Escobar bukan hanya soal angka. Ia merebut dukungan rakyat miskin lewat “Robin Hoodisme” yang mengaburkan batas antara kriminalitas dan kepahlawanan. Ia membangun rumah bagi kaum papa, menyumbang gereja, bahkan lapangan bola. Tapi di balik itu semua, kekuasaan Escobar ditopang oleh mesin pembunuh.
“Plata o plomo,” begitu ancamannya. Uang atau peluru. Hakim, polisi, hingga anggota parlemen tunduk, sebagian lainnya tewas. Pada satu masa, para hakim bahkan menyidangkan kasus narkoba dengan mengenakan topeng, takut identitas mereka dikenali dan menjadi target.
Utang Kolombia
Saking kuatnya, Escobar pernah menawar negara: ia siap melunasi seluruh utang luar negeri Kolombia—sekitar Rp298 triliun saat itu—jika pemerintah membatalkan ekstradisinya ke Amerika Serikat. Tawaran yang terdengar seperti fiksi itu benar adanya. Namun, pemerintah Kolombia menolaknya.