FAJAR, MAKASSAR— Kasus temuan 212 merek beras oplosan yang diumumkan Menteri Pertanian baru-baru ini kembali menghebohkan publik. Sebagian besar dari merek tersebut merupakan beras kualitas medium yang dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium. Selain menyesatkan, praktik ini dianggap merugikan konsumen secara ekonomi dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.
Ekonom Universitas Negeri Makassar (UNM), Sahade, menyebut fenomena ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan mencerminkan lemahnya sistem pengawasan pangan di Indonesia.
“Ini bukan sekadar penipuan dagang biasa. Jika beras yang dioplos itu ternyata sudah rusak atau disimpan bertahun-tahun, ini bisa berdampak pada kesehatan masyarakat. Persoalan ini sangat krusial dalam sistem distribusi pangan nasional,” ujar Sahade saat dimintai tanggapan, Selasa (16/7/2025).
Ia menilai persoalan beras oplosan bukan kejadian pertama. Sebelumnya masyarakat juga sempat dihebohkan kasus kelangkaan dan manipulasi harga minyak goreng. “Ini menandakan bahwa pengawasan pemerintah masih sangat lemah, integritas pelaku usaha buruk, dan literasi konsumen rendah,” tegasnya.
Solusi: Barcode Transparan dan Inspeksi Rutin
Sahade mengusulkan pemerintah segera membangun sistem pengawasan berbasis teknologi seperti penggunaan barcode atau QR code transparan pada kemasan beras.
“Jangan hanya menuliskan label SNI atau Premium, tapi beri akses ke konsumen agar bisa melacak asal-usul produk. Barcode itu harus bisa di-scan oleh konsumen dan menunjukkan dari mana beras itu berasal, kapan diproses, dan siapa produsennya,” jelasnya.