English English Indonesian Indonesian
oleh

Kasus Beras Oplosan adalah Pengkhianatan terhadap Kepercayaan Publik

Selain itu, ia menyarankan inspeksi laboratorium berkala secara menyeluruh, bukan hanya sampling kecil seperti selama ini. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan petani dan komunitas lokal dalam rantai distribusi, agar pengawasan lebih transparan dan berjenjang dari hulu ke hilir.

Rantai Pasok Perlu Dibenahi

Sahade juga mengkritik sistem pengelolaan stok beras nasional yang lemah. “Kita butuh sistem sirkulasi stok barang yang benar. Barang yang masuk duluan harus keluar duluan. Kalau beras disimpan bertahun-tahun di gudang lalu baru dijual, kualitasnya sudah tidak layak konsumsi,” ujarnya.

Ia menilai perlu pengawasan lebih ketat terhadap produsen dan distributor, serta penegakan hukum yang serius. “Produsen sering manipulatif, distributor bisa memalsukan kemasan, sementara pengawasan pemerintah lemah. Konsumen pun tidak kritis dan jarang melapor,” lanjut Sahade.

Padahal, kata dia, sudah ada payung hukum yang kuat: UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, serta PP Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenai sanksi pidana hingga 5 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.

Perlu Satgas dan Posko Laporan Pangan

Sebagai langkah konkret, Sahade mendorong pemerintah membentuk posko laporan pangan di berbagai tingkat daerah, terutama kecamatan dan kabupaten. Menurutnya, Satgas Pangan yang selama ini ada belum optimal dan tidak tersosialisasi dengan baik.

“Orang bingung mau lapor ke mana. Tidak semua tahu harus ke polisi atau kejaksaan. Kita butuh ruang publik seperti posko-posko keluhan, seperti saat Lebaran ada posko mudik. Harus ada juga edukasi dan sosialisasi soal ciri-ciri beras oplosan kepada masyarakat,” tambahnya.

News Feed