TIDAK terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.30 Wita. Namun, suasana di ruang tamu rumah Selle KS Dalle justru makin hidup. Tidak ada tanda-tanda mengantuk. Mereka penasaran dengan pernyataan Agam Rinjani bahwa akan menikah di Puncak Gunung Rinjani.
Selle KS Dalle masih manggut-manggut. Hening sejenak. Tiba-tiba Andi Tenri A. Palallo mencairkan suasana, “Bagaimana orang tuamu bisa sampai ke atas puncak? Bagaimana tamu-tamu?”
“Adamikah calonmu?” Sunarti Zain menimpali.
“Iya, pastikan dulu calonmu,” kata Selle KS Dalle.
Perbincangan dini hari itu berlangsung akrab. Layaknya antara anak, kakak, ibu, dan bapak. Mereka memang tidak lepas dari proses perjalanan Agam Rinjani yang saat itu masih dikenal sebagai “Ucok”. Selle KS Dalle, Tenri A. Palallo, dan Sunarti Zain, bahkan sudah dianggap orang tua Ucok.
“Saya lama sekali tinggal di rumah ini. Teman-teman perempuan tidurnya di lantai atas. Saya bebas menggunakan semua fasilitas, termasuk telepon rumah, gratis lagi,” kata Agam Rinjani sambil menunjuk tangga menuju lantai atas dan kamar yang selalu ditempati begadang puluhan tahun silam.
Karakter Ucok kecil hingga selesai kuliah, banyak terbentuk dari interaksinya dengan Andi Tenri A. Palallo, Selle KS Dalle, Sunarti Zain, dan para aktivis Yayasan Pabbata UMI.
Selle KS Dalle menceritakan, pada waktu Ucok masih usia SD, mereka bersama-sama di TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) Antang. Ada program pendampingan anak-anak pemulung untuk disekolahkan.
“Saya bersama Bu Andi Tenri, Bu Una (Sunarti Zain), dan teman-teman lainnya makan dan minum kopi di tengah tumpukan sampah, TPA Antang. Kita harus ramah dengan para pemulung di sana. Lalat bukan sesuatu yang mengahalangi untuk santap bersama dengan anak-anak pemulung,” kenang Selle KS Dalle.