English English Indonesian Indonesian
oleh

Wajah Kekuasaan Kembar di Era Digital

Oleh: Alwy Rachman
Purnabakti Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Di era digital, wajah kekuasaan konvensional tak harus tampak, tak mesti berwujud sosok otoritarian. Ia juga tak selalu muncul sebagai persona aparatus berseragam, tak terlihat dan tak terdengar sebagai sosok politikus demagog.

Era digital memunculkan dua wajah kekuasaan secara samar: kekuasaan panoptik (panoptic power) dan kekuasaan paliatif (palliative power). Samar tapi pasti, secara bersamaan, keduanya berfungsi sedemikian rupa: mengawasi dan mendisiplinkan, menghibur dan meredakan rasa sakit sosial.

Kekuasaan panoptik, dalam jejak historisnya, bertumbuh dari gagasan visioner Jeremy Bentham: merancang bangunan penjara yang memungkinkan satu penjaga mengawasi banyak tahanan sekaligus — tanpa para tahanan pernah tahu kapan mereka sedang diawasi. Bentham hidup di abad ke-18 dan ke-19. Ia adalah sosok filsuf, ahli hukum dan dikenal sebagai perintis utilitarianisme, yaitu filsafat dan teori etika hukum yang mendalilkan: “Tindakan benar adalah yang memberi kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak”.

Ketika berpulang, mayat Jeremy diawetkan atas permintaan sendiri. Dalam wasiatnya, Bentham meminta agar tubuhnya dijadikan “auto-ikon”, yaitu pengawetan jenazah untuk dijadikan ikon bagi dirinya sendiri. Ia berprinsip: “Setelah kematian, tubuh seseorang tetap bermanfaat untuk pendidikan publik, sebagai pengingat atas warisan gagasan yang ditinggal semasa hidup, dan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap kematian.” Kini, “auto-ikon” Bentham dipajang di sebuah kotak kaca, di pintu masuk Student Centre di University College London.

Di kemudian hari, konsep kekuasaan panoptik dikembangkan oleh Michel Foucault, ditulis melalui satu karya Dicipline and Punish; The Birth of the Prison (1975). Isinya: Sejarah sistem penghukuman di dunia Barat, yang berkembang dari kekerasan fisik ke mekanisme pengawasan tersembunyi. Kekuasaan panoptik diadaptasi dari rancangan arsitektural penjara sebagai sarana pendisiplinan. Bagi Foucault, pendisiplinan tak hanya terbatas pada penjara. Pendisiplinan juga dipraktikkan di sekolah, rumah sakit, pabrik, militer, dan juga di masyarakat luas.

Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kekuasaan panoptik bertransformasi menjadi teknologi pengawasan. Penerapan teknologi CCTV di hampir semua tempat, akan mengawasi lalu lalang banyak orang. Pelacakan digital di jalan-jalan raya memotivasi pengemudi mendisiplinkan diri, takut terkena hukuman. Pengawasan media sosial juga diselenggarakan melalui UU ITE.

Di media sosial, kekuasaan panoptik juga berlangsung melalui algoritma kecerdasan buatan, membentuk jejaring pengawasan secara terus menerus. Kekuasaan panoptik tak hanya mendisiplinkan, tapi juga mengarahkan. Google, misalnya, bisa dianggap sebagai mesin arahan (directional machine), bukan hanya menyediakan informasi, tapi juga mengarahkan cara berpikir, cara mencari, dan cara bertindak. Meski tak sama, YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, juga dipakai sebagai mesin arahan pengganti. Keempatnya menjadikan pengguna sebagai subjek yang secara sukarela membatasi diri, menyensor ekspresi dan mengikuti norma interaksi digital. Alhasil, pendisiplinan bukan dari luar, tapi dari dalam diri yang telah jinak oleh algoritma.

Belum usai kekuasaan panoptik, muncul kekuasaan baru, dibilangkan sebagai kekuasaan paliatif. Konsep kekuasaan ini datang dari Byung Chul-Han, filsuf muda Korea Selatan. Melalui publikasi The Palliative Society (2021), kekuasaan digambarkan sebagai mekanisme pengawasan yang bekerja melalui algoritma, menyediakan rasa nyaman, menampilkan gaya hidup konsumtif dan menghibur serta mengaburkan penderitaan. Dampaknya, pengguna media sosial kehilangan daya kritis, pasrah di hadapan sistem dan berilusi tentang kebahagiaan. Masyarakat paliatif menjauhi kebenaran, mendekati kenyamanan semu.

Di media sosial, praktik paliatif dapat dilihat pada cara menggunakan ragam platform — seperti YouTube, instagram, Facebook, TikTok — untuk mengisi kekosongan emosional. Mencari perhatian dan memburu validasi atas diri adalah bagian dari mekanisme kekuasaan baru yang bersifat paliatif dan narsistik. Bagi Chul-Han, penyelesaian keterasingan sosial seperti ini hanya menghilangkan rasa sepi sementara. Chul-Han menambahkan banyak pengguna yang memposting konten demi mendapatkan “like” atau komentar positif.

Akhirnya, dua kekuasaan ini berwajah kembar, menjadi pengawas perilaku. Foucault mendalilkan bahwa efek pengawasan bersifat permanen, meski berlangsung tak kasat mata. Kekuasaan di era digital bekerja bukan lewat kekerasan, tapi lewat disiplin dan hukuman. Chun Hal memperluas gagasan ini: Kita kini tak lagi hidup dalam masyarakat disipliner, melainkan dalam masyarakat yang dilayani oleh rasa nyaman. Kehidupan yang dibebaskan dari rasa sakit justru kehilangan kedalaman eksistensialnya. (*)

News Feed